Rabu, 09 Juni 2010

IMF Peringatkan Asia Dampak Krisis Eropa

REPUBLIKA.CO.ID,SINGAPURA--Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan kawasan Asia, terutama para pembuat kebijakannya, untuk mulai memasang mata atas potensi bahaya dari krisis utang Eropa. Dikhawatirkan, efek krisis di Eropa menggoyang permintaan ekspor di Asia.


Peringatan ini disampaikan oleh Deputy Managing Director IMF, Naoyuki Shinohara, seperti dikutip Reuters, Rabu (9/6). Ia menambahkan, meski Asia hanya bersentuhan sedikit dengan jalur keuangan Eropa, tapi prospek akan berkembangnya aliran hot money ke kawasan Asia tidak dipungkiri akan terjadi.

''Aliran hot money ini bisa menimbulkan penggelembungan aset. Untuk itu, kuncinya para pembuat kebijakan ekonomi harus mewaspadai akan gambaran ini. Mereka juga harus sesiap mungkin pasang aksi secepatnya atas perkembangan ini,'' ujarnya Shinohara di Singapura.

Lebih lanjut, ia mengatakan, dengan gagahnya pertumbuhan ekonomi di Asia, maka pemilihan kebijakan ekonomi yang sepantasnya merupakan hal penting. Terutama membawa efek yang signifikan bagi perekonomian global.

Dalam kesempatan yang sama, Shinohara juga menyinggung tentang krisis ekonomi yang tengah menghampiri Hungaria. Namun, ia menegaskan bahwa apa yang sedang terjadi di Hungaria tidaklah sebombastis yang diberitakan di media massa akhir-akhir ini. ''Dibandingkan negara Eropa lainnya, krisis di Hungaria lebih ringan. Jadi, tidak perlu khawatir secara berlebihan akan hal ini,'' jelasnya.

Red: Budi Raharjo
Rep: C08

Selasa, 08 Juni 2010

Sumber Pendapatan Belanja dan Utang negara Di Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin



Masa Rasulullah
Situasi kehidupan Islam pada Masa awal tidaklah jauh berbada dengan gambaran kehidupan yang ada pada masa setelahnya, hanya saja warna kehidupan masih lebih sederhana dan belum kompleks seperti kehidupan masyarakat Islam setelahnya. Masalahnya, mungkin terletak pada jumlah masyarakat Islam yang masih terkonsentrasi di Mekkah dan Madinah dan sebagian daerah jazirah Arab lainnya, dan belum terlalu luas dan menyebarnya daerah kekuasaan Islam. Sebelum hijrah, belum terlalu banyak aktifitas Rasulullah SAW, sahabat dam muslim lainnya yang menyangkut kehidupan secara makro dan menyangkut banyak orang, tetapi aktifitas itu baru terbatas pada konsentrasi penyebaran “harumnya” Islam. Kalupun ada aktifitas selain dakwah Islam, aktifitas tersebut masih untuk kepentingan pribadi, termasuk juga aktifitas ekonomi.
M.A Sabzwari dalam Journal of Islamic Banking and Finance menyebutkan bahwa Rasulullah SAW baru mulai “melirik” permasalahan ekonomi dan keuangan negara, setelah beliau menyelesaikan masalah politik dan urusan konstitusional di Madinah pada masa awal hijrah.
Dan kondisi berubah setelah turunnya surat Al Anfal: 41 dimana banyaknya kebijakan Rasulullah SAW tentang sisi ekonomi seperti yang beliau terima dari wahyu tersebut. Waktu turunnya surat ini adalah antara perang Badr dan pembagian rampasan perang, pada tahun kedua setelah hijrah.
Harta rampasan prang merupakan salah satu sumber pendapatan negara pada masa Rasulullah SAW yang paling dominant. Selain itu sumber pandapatan negara lainnya adalah:

1. Zakat, Infaq dan Shdaqoh
Kewajiban zakat mal diperintahkan pada tahun ke-9 H. menurut Bukhari, Rasulullah SAW bersabda kepada Muadz, ketuka ia mengirimnya ke Yaman sebagai pengumpul dan pemberi zakat, “Katakan kepada mereka (penduduk Yaman) bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk membayar zakat yang akan diambil dari orang kaya diantara mereka dan memberikannya kepada orang miskin diantara mereka. Dengan demikian pemerintah pusat berhak menerima keuntungan hanya bila terjadi surplus yang tidak dapat didistribusikan lagi kepada orang-orang yang berhak, dan ditambah kekayaan yang dikumpulkan di Madinah.
Di Masa Rasulullah SAW, zakat dikenakan pada hal-hal berikut
a. benda logam yang terbuat dari emas dan perak
b. binatang ternak unta, sapi, domba, kambing
c. Berbagai jenis barang dagang termasuk budak dan hewan
d. Hasil pertanian termasuk buah-buahan
e. Luqta, harta benda yang ditinggalkan musuh
f. Barang temuan

2. Jizyah
Jizyah adalah pajak yang fibayar oleh orang nonmuslim khususnya alhi kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Pada masa Rasulullah SAW, besarnya jizyah satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, orang tua dibebaskan dari kewajiban jizyah. Diantara ahli kitab yang harus membayar jizyah sejauh yang diketahui adalah Nashara Najran.

3. Kharaj
Kahraj atau pajak tanah dipungutdari nonmuslim ketika khaibar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya harus menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara.

4. Uang tebusan untuk para tawanan perang (hanya pada kasus perang Badr)
5. Pinjaman-pinjaman untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin
6. Khums atau rikaz
7. Amwal fadhla (berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris)
8. wakaf, harta benda yang didedikasikan kepada kaum muslimin yang disebabkan karena Allah dan pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
9. Bentuk sadaqah lainnya seperti qurban dan kaffarat.
10. Dan lain-lain

Namun semua pendapatan dan penerimaan negara pada masa Rasulullah tersebut belum ada pencatatan yang maksimal. Ketiadaan ini karena beberapa alasan, diantaranya:

1. Jumlah orang Islam yang bias membaca dan menulis sedikit.
2. Sebagian besar bukti pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana baik yang didistribusikan maupun yang diterima.
3. Sebagian besar zakat hanya didistribusikan secara local.
4. Bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
5. Pada banyak kasus, ghanimah digunakan dan didistribusikan setelah peperangan tertentu.

Hal yang serupa juga terjadi pada pengeluaran negara, belum ada catatan pengeluaran yang sistematis. Dalam kebanyakan kasus pencatatannya diserahkan pada pengumpulan zakat. Setiap perhitungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah. Diantara bentuk pengeluaran pada masa Rasulullah adalah biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, kuda, dsb. Penyaluran zakat kepada mustahik; pembiayaan gaji untuk wali, qadhi, guru, imam, dsb.
Berdasarkan dari pembahasan diatas, dapat kita lihat bahwa pada masa rasulullah belum terdapat kegiatan ekonomi yang sistematis seperti administrasi asset negara dari berbagai divisi untuk kemaslahatan umat dan eksistensi pemerintah dimasa selanjutnya. Oleh karena itu belum ditemukan fakta-fakta ekonomi sistematis di masa Rasulullah.

Masa Khulafa Rasyidin
Pada masa pemerintahan Abu Bakr as Shiddiq belum banyak perubahan dan inovasi baru yang berkaitan dengan sektor ekonomi dan keuangan negara. Kondisinya masih seperti pada masa Rasulullah SAW. Kondisi ini dibentuk oleh konsentrasi Abu Bakr untuk mempertahankan eksistensi Islam dan kaum Muslimin. Para sahabat masih terfokus untuk memerangi mereka yang enggan membayar zakat setelah wafatnya Rasulullah dan memerangi yang murtad dan grakan nabi palsu.
Hal yang berbeda mulai terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab. Improvisasi system perekonomian dilakukan seperti departeman keuangan regular (diwan). Al Mawardi menyebutkan untuk efisiensi pendataan asset negara yang datang dari bebagai wilayah territorial, dibutuhkan suatu lembaga pemerintahan yang objektif dalam finansial negara.
Asset pemerintah Islam di era perkembangan Islam ada empat kategori, yaitu
1. Ghanimah
Penaklukan Byzantium dan propinsi Sasanid setelah wafatnya Rasulullah SAW, telah memperbesar volume ghanimah dan seperlima dari total ghanimah akan dialokasikan untuk dana militer, sebagian yang lain untuk kesejahteraan nasional. Perluasan daerah territorial pemerintahan muslim dan perkembangan system administrasi negara tidak lepas dari kontribusi khalifah Umar yang sangat berperan dalam perkembangan Islam.

2. Shadaqah
Shadaqah adalah satu komponen yang terpenting dalam metode penanggulangan kesejahteraan rakyat, dan zakat hanya diwajibkan bagi keluarga yang mampu. Zakat adalah penetralisir ekonomi masyarakat yang lebih penting dari sumber penghasilan lainnya, dimana bagi keluarga yang mampu mengeluarkan zakatnya untuk para fakir miskin dan menjadi penetralisir keadaan ekonomi masyarakat.

3. Fay
Fay merupakan semua harta benda yang didapat dari musuh tanpa jalur peperangan. Para sarjana muslim memakai istilah fay untuk semua harta benda termasuk harta benda yang tidak bergerak seperti tanah, pajak yang dikenakan atas tanah tersebut (kharaj), pajak atas hak milik (jizyah), dan bea cukai yang dikumpulkan dari para pedagang nonmuslim
Karena negara mempunyai otoritas penuh mengatur pendapatan dari fay, maka kita dapat menyebutnya sebagai pendapatan penuh negara. Karena keuntungan dari pendapatan fay dibagi rata untuk kepentingan bersama dari seluruh populasi.

4. Jizyah
Jizyah adalah pajak yang ditarik dari penduduk nonmuslim di negara (ahl dzimmah) sebagai biaya perlindungan mereka. Dengan kata lain , jizyah adalah kewajiban keuangan atas penduduk nonmuslim di negara Islam sebagai ganti biaya perlindungan atas hidup dan property dan kebebasan untuk menjalani agama masing-masing

Iran Buka Cabang Bank Pertama Khusus Perempuan

REPUBLIKA.CO.ID,TEHERAN--Iran telah membuka cabang bank khusus perempuan di timur laut kota religius Masyhad dalam upaya untuk mempromosikan budaya Islam, surat kabar melaporkan pada Selasa.

Cabang Bank Melli milik negara mulai beroperasi pada Senin di Masyhad dengan semua staf-wanita, termasuk penjaga keamanan, kata harian Tehran Emrouz. "Hal ini bertujuan untuk mempromosikan budaya kesucian dan meningkatkan keamanan untuk partisipasi perempuan muslim Iran di masyarakat," kata kepala Bank Melli Mahmoud Reza Khavari seperti dikutip.

Banyak di antara otoritas garis keras Iran dan ulama mendukung pemisahan jenis kelamin dan menemukan percampuran pria dan wanita yang tidak berhubungan akan merusak, meskipun perempuan diminta untuk mengamati kode pakaian Islam di depan umum. Beberapa kelas universitas di Iran terpisah dan perjalanan perempuan di belakang pada bus umum meskipun mereka berdesakan dengan pria di taksi bersama.

Dalam beberapa tahun terakhir beberapa taman khusus wanita telah dibuka di Iran dan ada juga perusahaan-perusahaan taksi yang mempekerjakan hanya perempuan. Langkah-langkah tersebut telah dipenuhi dengan reaksi beragam di antara warga Iran dengan beberapa dukungan keluarga tradisional agama sementara beberapa mempertanyakan apakah pemisahan dapat mengatasi penyakit sosial.
Red: Krisman Purwoko
Sumber: ant/AFP

Senin, 07 Juni 2010

Company Visit BMT PSU



Assalamualaikum,
Kabar Gembira buat CIESer, Company Visit datang lagi. Insyaallah dilaksanakan pada
hari : rabu
tanggal : 9 Juni 2010
pukul : 12.30 - Selesai
lokasi: BMT PSU Soekarno Hatta (dekat Poltek)

yang punya motor harap dibawa, konfirmasi keikutsertaan ke nomor 085649538832
laporkan bawa motor atau tidak.

sukron, wassalamualaikum Wr Wb
"Hidupkan Ekis bersama CIES, Allahu Akbar"

Kemenhub Dapat Anggaran Rp 21,371 triliun di 2011


REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mendapatkan jatah anggaran sebesar Rp 21,371 triliun pada 2011. Adapun besaran anggaran tersebut menyusut sebesar Rp 364 miliar, dari anggaran atau pagu indikatif semula yang sebesar Rp 21,735 triliun.

''Setelah dilakukan trilateral meeting, ditemukan adanya kelebihan alokasi anggaran pinjaman atau hibah luar negeri sebesar Rp 364 miliar, sehingga pagu indikatif menyusut menjadi Rp 21,371 triliun," kata Menteri Perhubungan, Freddy Numberi, dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (7/6).

Sebetulnya, anggaran atau pagu indikatif yang disahkan oleh Kemenkeu dan Bappenas itu jauh dari permintaan Kemenhub. Berdasarkan hasul rapat yang dilangsungkan antara Kemenhub dengan Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja/Dishub, total kebutuhan anggaran Kemenhub di 2011 mencapai Rp 44,95 triliun.

''Berdasarkan sasaran pembangunan Kemenhub tahun 2011, skenario pagu anggaran disusun berdasarkan delapan prioritas. Ke delapan prioritas itu mencakup, terwujudmya keselamatan transportasi dari program roadmap to zero accident. Kemudian, pembangunan sarana dan prasarana transportasi, hingga dukungan sektor transportasi melancarkan distribusi bahan pokok kebutuhan masyarakat,'' jelas Menhub.

Untuk merealisasikan ke delapan prioritas Itu, Kemenhub telah menyusun komposisi anggaran 2011 per Unit Kerja Eselon I Kemenhub menjadi, sebagai berikut Ditjen Perhubungan Darat Rp 2,091 triliun, Ditjen Perkeretaapian Rp 4,197 triliun, Ditjen Perhubungan Laut Rp 6,78 triliun, dan Ditjen Perhubungan Udara Rp 4,88 triliun.

Red: Budi Raharjo
Rep: C08

Menata Makroekonomi Indonesia Secara Islami

Oleh: Ikhwan A. Basri
Pembina Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia
Mengharapkan perubahan radikal dengan mengambil dasar dari pandangan non mainstreams yang manapun, sangat sulit diwujudkan. Partisipasi intelektual dengan basis pandangan bukan dari mainstreams, tidak mungkin dapat diharapkan dalam jangka menengah dan dekat.
Sudah menjadi sebuah kenyataan bahwa perekonomian Indonesia mengalami kemunduran besar terutama sejak krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Situasi buruk itu kemudian diikuti oleh krisis ekonomi berkepanjangan hingga sekarang. Tanda-tanda keluarnya negeri ini dari dominasi krisis yang bersifat multidimensional tersebut tidak terlihat dalam jangka waktu dekat maupun menengah. Sekalipun terjadi tingkatan tertentu dari recovery, proses pemulihan itu tidak didukung oleh pondasi yang kuat dan tangguh.
Banyak faktor yang akan dapat memporakporandakan kondisi perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. Bahkan krisis serupa yang mungkin lebih buruk diperkirakan masih dapat terjadi lagi jika para pengambil kebijakan tidak mengantisipasi hal-hal yang dapat merusak perjalanan recovery perekonomian Indonesia. Para ekonom, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sudah banyak sekali menyajikan analisis, kajian dan studi, yang berusaha untuk memetakan dan membedah hakikat krisis ekonomi ini. Konferensi dan seminar baik bertingkat lokal, nasional maupun internasional sudah sangat sering digelar di sini.
Akan tetapi hakikat krisis tersebut tidak banyak bergeser atau berubah. Tampaknya badai belum akan berlalu. Tulisan ini tidak akan berusaha menjelaskan, memetakan ataupun menganalisis persoalan ini dari sudut pandang teknis ekonomis. Karena analisis dan kajian yang tersedia, sudah lebih dari cukup. Sebaliknya hanya akan memberikan arahan yang ditujukan kepada perubahan paradigma pada semua agen ekonomi. Arahan inipun diambil dari ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan persoalan-persoalan ekonomi secara global. Untuk saat sekarang, mengharapkan timbulnya perubahan secara radikal dengan mengambil dasar dari pandangan non mainstreams yang manapun, sangat sulit diwujudkan.
Hal ini disebabkan karena krisis ekonomi yang menimpa negeri kita sudah tidak lagi murni dalam bidang ekonomi. Krisis ini terjadi karena berbagai sebab dan faktor yang kadang-kadang faktor non-ekonomi lebih dominan dari pada yang lain. Kedua, persoalan ini telah menyebar ke berbagai sektor kehidupan lain sehingga makin mempersukar upaya penanggulangan secara baik. Ketiga, masyarakat sudah sekian lama hidup dalam keadaa krisis sehingga untuk mengubah kesadaran mereka menuju kepada kesadaran yang lebih baik (keluar dari krisis) diperlukan energi besar untuk mengalahkan gaya inersia yang cukup kuat itu.
Kitapun menyadari bahwa memberikan pilihan kebijakan kepada para pembuat kebijakan (policy makers) di negeri ini, apa lagi yang berbasis Islam tidak selalu dapat diterima secara elegan, jauh dari prinsip egalitarian dan prasangka-prasangka buruk yang lain. Untuk itu segala upaya ilmiah dalam rangka turut memberikan sumbangan atau partisipasi intelektual dengan mengambil basis pandangan bukan dari mainstreams tidak mungkin dapat diharapkan dalam jangka menengah dan dekat. Lewat perkenalan beberapa aspek ekonomi Islam seperti perbankan, asuransi, pegadaian dan lain-lain merupakan upaya yang bagus dan perlu terus dikembangkan dan perbaiki menuju konsep yang ideal.

Perlunya perubahan paradigma secara umum.
Bahwa kita perlu mengubah paradigma dalam segala persoalan termasuk dalam persoalan ekonomi merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Apalagi kita hidup dalam sebuah periode sejarah di mana globalisasi telah menjadi bagian integral dari pola hubungan internasional. Dalam lapangan ekonomi kita telah mengikuti paradigma ekonomi kontemporer yang berbasis kepada falsafah materialisme. Begitu kuatnya falsafah ekonomi materialistik ini menguasai pola berpikir ilmiah moderen, sehingga mempersulit proses usaha untuk saling mengerti dan memahami pola ilmiah yang berasal dari budaya dan falsafah lain. Ini sangat terlihat nyata ketika dunia, di satu sisi, menuju kepada globalisasi dan integrasi, namun di sisi yang lain, pola hubungan antar manusia yang dijalin atas dasar perbedaan keyakinan dan akar budaya yang berbeda makin sulit dikembangkan. Akibatnya konflik menjadi gejala menonjol dalam hubungan internasional pada masa sekarang ini. Perlunya perubahan paradigma (paradigm shifting) dalam bidang ekonomi terutama ekonomi pembangunan mutlak diperlukan jikalau proses pembangunan harus berkesinambungan dengan tetap menjaga keseimbangan ekologi. Proses pembangunan yang hanya menguras sumber daya alam telah mengakibatkan malapetaka dunia seperti perang dunia, perang lokal maupun perang regional, baik fisik maupun psikis dan lain-lain.

Perubahan paradigma dalam konsumsi
Pola konsumsi pada masa kini lebih menekankan aspek pemenuhan keinginan material dari pada aspek kebutuhan yang lain. Amat sedikit sekali perhatian yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan, hakikat dan kualitas barang dan jasa yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan ini dan bagaimana hal itu dapat didistribusikan secara lebih adil kepada semua anggota masyarakat. Bahkan rasionalitas konsumen hanya dipandang dari sisi bagaimana ia memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang paling minimal. Hal ini tentu saja menjadikan seluruh mesin produksi diarahkan secara langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi tujuan ini dengan mengabaikan apakah pemenuhan keinginan ini pada hakekatnya akan meningkatkan kesejahteraan manusia secara hakiki atau bukan. Akibat dari rasionalitas konsumsi yang lebih mendukung individualisme dan self interest, maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai. Yang terjadi adalah munculnya berbagai ketimpangan dalam berbagai persoalan sosio-ekonomi. Untuk itu perlu menginjeksikan nilai-nilai (values) dalam sektor konsumsi sehingga tidak membahayakan bagi keselamatan manusia itu sendiri. Islam memberikan konsep adanya an-nafs al-muthmainnah ( jiwa yang tenang). Jiwa yang tenang ini tentu saja tidak berarti jiwa yang mengabaikan tuntutan aspek material dari kehidupan. Tentu saja ia tetap memerlukan semua pemenuhan kebutuhan fisiologis jasmani termasuk juga kenyamanan-kenyamanan (comforts). Tetapi pemuasan kebutuhan harus dibarengi dengan adanya kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin (tension) dan adanya keharmonisan hubungan antar sesama manusia dalam sebuah masyarakat. Di sinilah perlu diinjeksikan sikap hidup peduli kepada nasib orang lain yang dalam bahasa Alquran dikatakan “al-iitsar”. Sikap ini tentu akan meniadakan berbagai varian dari pola konsumsi materialistik seperti conspicuous consumption. Konsumsi model ini secara agama tidak mendapatkan dasar pijakan dan secara ekonomi berbahaya karena hanya menguras devisa negara dan secara sosial merenggangkan keharmonisan hidup bermasyarakat. Proses pembangunan ekonomi masa kini tidak terlepas dari dominasi falsafah materialisme dalam literatur ilmu ekonomi. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pola pembangunan lebih memfokuskan perhatian kepada peningkatan pendapatan per kapita dengan mengabaikan aspek-aspek yang lain. Dengan paradigma seperti ini para ekonom berkeyakinan bahwa, dalam pembangunan ekonomi yang penting adalah pertumbuhan (growth) dengan mengabaikan bagaimana pertumbuhan itu terjadi dan apakah hasil pembangunan itu menyebar secara adil atau tidak.

Perubahan paradigma dalam Pembangunan
Sebenarnya di kalangan ekonom Barat sendiri sudah banyak melancarkan kritikan pedas terhadap pola pembangunan yang dilandasi falsafah materialisme ini. Salah satunya kritik dari Dudley Seers. Ia percaya bahwa kriteria pembangunan adalah berkurangnya angka kemiskinan, berkurangnya angka pengangguran dan meratanya distribusi pendapatan. Jika salah satu dari tiga persoalan tersebut, terutama jika ketiga-tiganya, memburuk maka tidak dapat dikatakan bahwa negara yang bersangkutan telah mengalami pembangunan sekalipun pendapatan per kapitanya berlipat dua kali. Strategi pembangunan berbasis dari ajaran Islam mengubah paradigma ini dengan menyajikan beberapa elemen penting. Yang pertama, seluruh keinginan agen ekonomi tidak dapat diloloskan kecuali telah melewati saringan. Filter ini terdiri dari dua lapis yaitu maslahah syar’iyyah dan mekanisme harga di pasar. Kedua, agen ekonomi perlu dimotivasi untuk melakukan pemuasan kebutuhan dengan cara yang tidak membahayakan lingkungan. Ketiga, perlu ada restrukturisasi dalam bidang sosio-ekonomi dengan tujuan mengurangi konsentrasi kekayaan yang beredar di kalangan tertentu saja, menghapuskan pola konsumsi pamer dan hura-hura dan mereformasi sistem keuangan untuk mendukung terwujudnya dua tujuan di atas.

Perubahan Paradigma dalam Pembiayaan Pembangunan.
Pembiayaan pembangunan selama ini lebih mengandalkan kepada sumber-sumber eksternal seperti utang luar negeri baik melalui perjanjian bilateral maupun multilateral. Pada masa awal orde baru, pinjaman luar negeri dianggap sebagai pelengkap, sekalipun sebenarnya sangat substansial. Namun seiring dengan berlalunya waktu, pinjaman eksternal itu justru menjadi malapetaka bagi keseluruhan proses pembangunan dan menjadi bencana bagi sebagian besar masyarakat internasional. Krisis utang luar negari tidak hanya merontokkan perekonomian Indonesia yang diarsiteki oleh teknokrat orde baru, melainkan juga menjebol pertahanan ekonomi negara-negara yang sudah maju seperti Korea Selatan, Brazil, Argentina dan Meksiko. Dari berbagai kejadian tersebut dapat diambil pelajaran bahwa utang luar negeri bisa jadi bumerang yang mematikan bagi debitur itu sendiri. Sekalipun demikian pemerintah sekarang tetap mengandalkan utang luar negeri dengan melakukan bermacam-macam penyesuaian, seperti harus dibentuknya Tim PKLN (Pinjaman Komersial Luar Negeri) dan lain-lain. Semua penyesuaian, baik internal maupun eksternal, tampak masih berpijak pada paradigma lama sehingga kalau diimplementasikan hanya akan memberikan dampak sesaat yang berjangka pendek.
Pola pembiayaan yang dianjurkan oleh ajaran Islam tidak mendukung kepada utang (loan). Pinjaman, apalagi yang berbasis bunga, tidak dapat dipakai sebagai pembiayaan utama dalam pembangunan. Ia hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat di mana sumber yang lain tidak didapatkan. Islam menyodorkan model kerja sama dan kemitraan berdasarkan prinsip kesetaraan seperti mudharabah dan musyarakah. Dalam model pembiayaan seperti ini, keuntungan akan sama-sama dinikmati dan kerugian, kalau ada, akan ditanggung bersama. Dalam pembiayaan lewat utang, prinsip kesetaraan tidak ada. Yang ada adalah satu pihak pasti diuntungkan sementara pihak lain belum tentu diuntungkan. Prinsip pembangunan Islami ini mengacu kepada pemanfaatan dan pendayagunaan potensi diri sendiri. Namun aneh sekali justru aspek ini yang dilupakan oleh para pengambil kebijakan di negeri ini.

Perubahan Paradigma dalam Pola Gaya Hidup.
Disadari atau tidak sesungguhnya pola konsumsi dan gaya hidup kita cenderung merugikan diri sendiri. Dimulai dari pemenuhan kebutuhan pokok (primer) seperti makan, minum, sandang dan papan, keseluruhannya mengandung bahan-bahan yang harus diimpor dengan mengabaikan sumber-sumber yang sesungguhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri. Banyak barang-barang tertentu yang semestinya belum layak dikonsumsi oleh bangsa ini, telah diperkenalkan dan kemudian menjadi mode yang ditiru sehingga meningkatkan impor akan barang tersebut. Ini belum ditambah dengan barang-barang mewah yang beredar mulai dari alat-alat kecantikan sampai kepada mobil-mobil mewah. Padahal pola hidup seperti ini hanya akan memperburuk neraca transaksi berjalan karena meningkatkan impor barang tersebut sehingga menguras devisa dan pada gilirannya akan menekan nilai tukar mata uang dalam negeri. Islam memberikan arahan yang sangat indah dengan memperkenalkan konsep israf (berlebih-lebih) dalam membelanjakan harta dan tabzir. Islam memperingatkan agen ekonomi agar jangan sampai terlena dalam berlomba-lomba mencari harta (at-takaatsur). Islam membentuk jiwa dan pribadi yang beriman, bertaqwa, bersyukur dan menerima. Pola hidup konsumtivisme seperti di atas tidak pantas dan tidak selayaknya dilakukan oleh pribadi yang beriman dan bertaqwa. Satu-satunya gaya hidup yang cocok adalah simple living ( hidup sederhana) dalam pengertian yang benar secara syar’i. Namun amat disayangkan karena gerakan hidup sederhana dipandang kuno, konservatif dan tidak popular sehingga pemerintah tidak pernah menggalakkannya. Justru sebaliknya, barang mewah diimpor besar-besaran dengan harapan ada pemasukan dari pajak yang tinggi. Namun karena korupsi yang begitu menggurita, maka perolehan pajak barang mewah jauh di bawah target. Sesungguhnya argumen itu hanya tameng bagi orang kaya Indonesia untuk mendapatkan keinginan mereka diloloskan oleh pemerintah. Lain dari hal itu rasanya tidak ada. Persoalan-persoalan lain seperti keuangan publik, pajak, inflasi, pengangguran dan lapangan pekerjaan, semestinya juga dicarikan arahan jalan keluarnya dari ajaran Islam. Haruslah diakui bahwa menata makroekonomi Indonesia dengan mengambil basis dari ajaran Islam masih memerlukan waktu yang amat panjang dan perjuangan serta jihad yang tidak pernah berhenti (juhd mutawashil). Hal ini kita rasakan karena infrastruktur fisik dan psikologis sama sekali tidak mendukung terciptanya suasana baru ini. Sekalipun di satu sisi terlihat begitu besar ombak hambatan dan gelombang rintangan, namun di sisi lain terlihat tanda-tanda kemudahan yang menyisakan secercah harapan di depan. Tanda-tanda itu misalnya sistem keuangan Islam telah diakui oleh dunia termasuk Bank Dunia dan IMF. Perkembangan lembaga keuangan Islam juga terus berkembang di dunia bahkan di belahan dunia yang mewajibkan bunga dan mengharamkan non bunga. Mudah-mudahan kita dapat menangkap isyarat zaman itu sebagai obor semangat untuk tetap berjuang menegakkan haq. Wallahu a’lam bis-Shawab.

DPR Ajukan RUU Mata Uang

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya secara resmi mengajukan Rancangan Undang- ndang (RUU) Mata Uang untuk segera dibahas dengan pemerintah Senin (7/6). DPR mengajukan itu atas dasar hak inisiatif pembuatan UU.


Wakil Ketua Komisi XI DPR, Sohibul Iman, menjelaskan ada beberapa alasan diajukannya Rancangan Undang-Undang ini. Menurutnya, uang dalam kehidupan perekonomian suatu negara mempunyai fungsi yang sangat penting dan strategis, seperti sebagai alat pembayaran yang sah dalam transaksi ekonomi.

Kemudian uang menunjukan keberadaan atau esksistensi suatu negara. ''Karenanya, UU ini diharapkan dapat menetapkan uang rupiah sebagai mata uang Indonesia,'' jelasnya saat Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM, Senin (7/6).

Apalagi, kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, dalam perkembangannya kejahatan pemalsuan uang rupiah yang terjadi dewasa ini sudah berskala besar dilakukan secara terorganisir dan lintas negara. Kejahatan pemalsuan uang dalam jumlah besar ini dapat mengganggu perekonomian.

Dalam banyak kasus uang palsu juga mengakibatkan atau juga digunakan untuk kejahatan lainnya seperti pembalakan liar, money politic, traficking, dan lainnya. ''Pentingnya fungsi dan eksistensi mata uang ini yang mengantarkan DPR untuk segera menyusun RUU mata uang ini,'' jelasnya.

Red: Budi Raharjo
Rep: Teguh Firmansyah

Pertamina Mengaku Tetap Rugi Meski Harga Elpiji Naik

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--PT Pertamina (persero) mengaku bakal tetap merugi jika pun harga elpiji nonsubsidi (12 kilogram) dinaikkan sebesar Rp 1.000 pada Juni 2010 ini. Direktur Perencanaan Investasi dan Managemen Risiko Pertamina, Frederick Siahaan, memperkirkan sepanjang 2010 proyeksi kerugian yang dialami Pertamina sekitar Rp 2,5 triliun.


''Kerugian bisnis elpiji nonsubsidi ini terjadi karena harga jual produk tidak sebanding dengan peningkatan harga bahan balu,'' kata Frederick dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian ESDM, Pertamina, BPH MIgas, dan Komsi VII DPR, di Jakarta, Senin (7/6).

Frederick menambahkan, kerugian ini juga terjadi karena tidak semua elpiji yang dikeluarkan Pertamina adalah produk dalam negeri, tetapi banyak juga yang merupakan produk impor. ''Jika pun produk dalam negeri, Pertamina membelinya dengan harga pasar,'' jelasnya.

Menurut Frederick, rencana kenaikan harga elpiji nonsubsidi ini, berdasarkan persetujuan Meneg BUMN tahun 2009 bahwa elpiji nonsubisdi bisa dinaikkan secara bertahap untuk mencapai harga keekonomian. Ironisnya, realita di lapangan sudah ada kenaikan harga elpiji nonsubsidi di masyarakat yang keuntungannya dinikmati spekulan.

Red: Budi Raharjo
Rep: Cepi Setiadi