Senin, 07 Juni 2010

Menata Makroekonomi Indonesia Secara Islami

Categories:

Oleh: Ikhwan A. Basri
Pembina Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia
Mengharapkan perubahan radikal dengan mengambil dasar dari pandangan non mainstreams yang manapun, sangat sulit diwujudkan. Partisipasi intelektual dengan basis pandangan bukan dari mainstreams, tidak mungkin dapat diharapkan dalam jangka menengah dan dekat.
Sudah menjadi sebuah kenyataan bahwa perekonomian Indonesia mengalami kemunduran besar terutama sejak krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Situasi buruk itu kemudian diikuti oleh krisis ekonomi berkepanjangan hingga sekarang. Tanda-tanda keluarnya negeri ini dari dominasi krisis yang bersifat multidimensional tersebut tidak terlihat dalam jangka waktu dekat maupun menengah. Sekalipun terjadi tingkatan tertentu dari recovery, proses pemulihan itu tidak didukung oleh pondasi yang kuat dan tangguh.
Banyak faktor yang akan dapat memporakporandakan kondisi perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. Bahkan krisis serupa yang mungkin lebih buruk diperkirakan masih dapat terjadi lagi jika para pengambil kebijakan tidak mengantisipasi hal-hal yang dapat merusak perjalanan recovery perekonomian Indonesia. Para ekonom, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sudah banyak sekali menyajikan analisis, kajian dan studi, yang berusaha untuk memetakan dan membedah hakikat krisis ekonomi ini. Konferensi dan seminar baik bertingkat lokal, nasional maupun internasional sudah sangat sering digelar di sini.
Akan tetapi hakikat krisis tersebut tidak banyak bergeser atau berubah. Tampaknya badai belum akan berlalu. Tulisan ini tidak akan berusaha menjelaskan, memetakan ataupun menganalisis persoalan ini dari sudut pandang teknis ekonomis. Karena analisis dan kajian yang tersedia, sudah lebih dari cukup. Sebaliknya hanya akan memberikan arahan yang ditujukan kepada perubahan paradigma pada semua agen ekonomi. Arahan inipun diambil dari ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan persoalan-persoalan ekonomi secara global. Untuk saat sekarang, mengharapkan timbulnya perubahan secara radikal dengan mengambil dasar dari pandangan non mainstreams yang manapun, sangat sulit diwujudkan.
Hal ini disebabkan karena krisis ekonomi yang menimpa negeri kita sudah tidak lagi murni dalam bidang ekonomi. Krisis ini terjadi karena berbagai sebab dan faktor yang kadang-kadang faktor non-ekonomi lebih dominan dari pada yang lain. Kedua, persoalan ini telah menyebar ke berbagai sektor kehidupan lain sehingga makin mempersukar upaya penanggulangan secara baik. Ketiga, masyarakat sudah sekian lama hidup dalam keadaa krisis sehingga untuk mengubah kesadaran mereka menuju kepada kesadaran yang lebih baik (keluar dari krisis) diperlukan energi besar untuk mengalahkan gaya inersia yang cukup kuat itu.
Kitapun menyadari bahwa memberikan pilihan kebijakan kepada para pembuat kebijakan (policy makers) di negeri ini, apa lagi yang berbasis Islam tidak selalu dapat diterima secara elegan, jauh dari prinsip egalitarian dan prasangka-prasangka buruk yang lain. Untuk itu segala upaya ilmiah dalam rangka turut memberikan sumbangan atau partisipasi intelektual dengan mengambil basis pandangan bukan dari mainstreams tidak mungkin dapat diharapkan dalam jangka menengah dan dekat. Lewat perkenalan beberapa aspek ekonomi Islam seperti perbankan, asuransi, pegadaian dan lain-lain merupakan upaya yang bagus dan perlu terus dikembangkan dan perbaiki menuju konsep yang ideal.

Perlunya perubahan paradigma secara umum.
Bahwa kita perlu mengubah paradigma dalam segala persoalan termasuk dalam persoalan ekonomi merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Apalagi kita hidup dalam sebuah periode sejarah di mana globalisasi telah menjadi bagian integral dari pola hubungan internasional. Dalam lapangan ekonomi kita telah mengikuti paradigma ekonomi kontemporer yang berbasis kepada falsafah materialisme. Begitu kuatnya falsafah ekonomi materialistik ini menguasai pola berpikir ilmiah moderen, sehingga mempersulit proses usaha untuk saling mengerti dan memahami pola ilmiah yang berasal dari budaya dan falsafah lain. Ini sangat terlihat nyata ketika dunia, di satu sisi, menuju kepada globalisasi dan integrasi, namun di sisi yang lain, pola hubungan antar manusia yang dijalin atas dasar perbedaan keyakinan dan akar budaya yang berbeda makin sulit dikembangkan. Akibatnya konflik menjadi gejala menonjol dalam hubungan internasional pada masa sekarang ini. Perlunya perubahan paradigma (paradigm shifting) dalam bidang ekonomi terutama ekonomi pembangunan mutlak diperlukan jikalau proses pembangunan harus berkesinambungan dengan tetap menjaga keseimbangan ekologi. Proses pembangunan yang hanya menguras sumber daya alam telah mengakibatkan malapetaka dunia seperti perang dunia, perang lokal maupun perang regional, baik fisik maupun psikis dan lain-lain.

Perubahan paradigma dalam konsumsi
Pola konsumsi pada masa kini lebih menekankan aspek pemenuhan keinginan material dari pada aspek kebutuhan yang lain. Amat sedikit sekali perhatian yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan, hakikat dan kualitas barang dan jasa yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan ini dan bagaimana hal itu dapat didistribusikan secara lebih adil kepada semua anggota masyarakat. Bahkan rasionalitas konsumen hanya dipandang dari sisi bagaimana ia memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang paling minimal. Hal ini tentu saja menjadikan seluruh mesin produksi diarahkan secara langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi tujuan ini dengan mengabaikan apakah pemenuhan keinginan ini pada hakekatnya akan meningkatkan kesejahteraan manusia secara hakiki atau bukan. Akibat dari rasionalitas konsumsi yang lebih mendukung individualisme dan self interest, maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai. Yang terjadi adalah munculnya berbagai ketimpangan dalam berbagai persoalan sosio-ekonomi. Untuk itu perlu menginjeksikan nilai-nilai (values) dalam sektor konsumsi sehingga tidak membahayakan bagi keselamatan manusia itu sendiri. Islam memberikan konsep adanya an-nafs al-muthmainnah ( jiwa yang tenang). Jiwa yang tenang ini tentu saja tidak berarti jiwa yang mengabaikan tuntutan aspek material dari kehidupan. Tentu saja ia tetap memerlukan semua pemenuhan kebutuhan fisiologis jasmani termasuk juga kenyamanan-kenyamanan (comforts). Tetapi pemuasan kebutuhan harus dibarengi dengan adanya kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin (tension) dan adanya keharmonisan hubungan antar sesama manusia dalam sebuah masyarakat. Di sinilah perlu diinjeksikan sikap hidup peduli kepada nasib orang lain yang dalam bahasa Alquran dikatakan “al-iitsar”. Sikap ini tentu akan meniadakan berbagai varian dari pola konsumsi materialistik seperti conspicuous consumption. Konsumsi model ini secara agama tidak mendapatkan dasar pijakan dan secara ekonomi berbahaya karena hanya menguras devisa negara dan secara sosial merenggangkan keharmonisan hidup bermasyarakat. Proses pembangunan ekonomi masa kini tidak terlepas dari dominasi falsafah materialisme dalam literatur ilmu ekonomi. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pola pembangunan lebih memfokuskan perhatian kepada peningkatan pendapatan per kapita dengan mengabaikan aspek-aspek yang lain. Dengan paradigma seperti ini para ekonom berkeyakinan bahwa, dalam pembangunan ekonomi yang penting adalah pertumbuhan (growth) dengan mengabaikan bagaimana pertumbuhan itu terjadi dan apakah hasil pembangunan itu menyebar secara adil atau tidak.

Perubahan paradigma dalam Pembangunan
Sebenarnya di kalangan ekonom Barat sendiri sudah banyak melancarkan kritikan pedas terhadap pola pembangunan yang dilandasi falsafah materialisme ini. Salah satunya kritik dari Dudley Seers. Ia percaya bahwa kriteria pembangunan adalah berkurangnya angka kemiskinan, berkurangnya angka pengangguran dan meratanya distribusi pendapatan. Jika salah satu dari tiga persoalan tersebut, terutama jika ketiga-tiganya, memburuk maka tidak dapat dikatakan bahwa negara yang bersangkutan telah mengalami pembangunan sekalipun pendapatan per kapitanya berlipat dua kali. Strategi pembangunan berbasis dari ajaran Islam mengubah paradigma ini dengan menyajikan beberapa elemen penting. Yang pertama, seluruh keinginan agen ekonomi tidak dapat diloloskan kecuali telah melewati saringan. Filter ini terdiri dari dua lapis yaitu maslahah syar’iyyah dan mekanisme harga di pasar. Kedua, agen ekonomi perlu dimotivasi untuk melakukan pemuasan kebutuhan dengan cara yang tidak membahayakan lingkungan. Ketiga, perlu ada restrukturisasi dalam bidang sosio-ekonomi dengan tujuan mengurangi konsentrasi kekayaan yang beredar di kalangan tertentu saja, menghapuskan pola konsumsi pamer dan hura-hura dan mereformasi sistem keuangan untuk mendukung terwujudnya dua tujuan di atas.

Perubahan Paradigma dalam Pembiayaan Pembangunan.
Pembiayaan pembangunan selama ini lebih mengandalkan kepada sumber-sumber eksternal seperti utang luar negeri baik melalui perjanjian bilateral maupun multilateral. Pada masa awal orde baru, pinjaman luar negeri dianggap sebagai pelengkap, sekalipun sebenarnya sangat substansial. Namun seiring dengan berlalunya waktu, pinjaman eksternal itu justru menjadi malapetaka bagi keseluruhan proses pembangunan dan menjadi bencana bagi sebagian besar masyarakat internasional. Krisis utang luar negari tidak hanya merontokkan perekonomian Indonesia yang diarsiteki oleh teknokrat orde baru, melainkan juga menjebol pertahanan ekonomi negara-negara yang sudah maju seperti Korea Selatan, Brazil, Argentina dan Meksiko. Dari berbagai kejadian tersebut dapat diambil pelajaran bahwa utang luar negeri bisa jadi bumerang yang mematikan bagi debitur itu sendiri. Sekalipun demikian pemerintah sekarang tetap mengandalkan utang luar negeri dengan melakukan bermacam-macam penyesuaian, seperti harus dibentuknya Tim PKLN (Pinjaman Komersial Luar Negeri) dan lain-lain. Semua penyesuaian, baik internal maupun eksternal, tampak masih berpijak pada paradigma lama sehingga kalau diimplementasikan hanya akan memberikan dampak sesaat yang berjangka pendek.
Pola pembiayaan yang dianjurkan oleh ajaran Islam tidak mendukung kepada utang (loan). Pinjaman, apalagi yang berbasis bunga, tidak dapat dipakai sebagai pembiayaan utama dalam pembangunan. Ia hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat di mana sumber yang lain tidak didapatkan. Islam menyodorkan model kerja sama dan kemitraan berdasarkan prinsip kesetaraan seperti mudharabah dan musyarakah. Dalam model pembiayaan seperti ini, keuntungan akan sama-sama dinikmati dan kerugian, kalau ada, akan ditanggung bersama. Dalam pembiayaan lewat utang, prinsip kesetaraan tidak ada. Yang ada adalah satu pihak pasti diuntungkan sementara pihak lain belum tentu diuntungkan. Prinsip pembangunan Islami ini mengacu kepada pemanfaatan dan pendayagunaan potensi diri sendiri. Namun aneh sekali justru aspek ini yang dilupakan oleh para pengambil kebijakan di negeri ini.

Perubahan Paradigma dalam Pola Gaya Hidup.
Disadari atau tidak sesungguhnya pola konsumsi dan gaya hidup kita cenderung merugikan diri sendiri. Dimulai dari pemenuhan kebutuhan pokok (primer) seperti makan, minum, sandang dan papan, keseluruhannya mengandung bahan-bahan yang harus diimpor dengan mengabaikan sumber-sumber yang sesungguhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri. Banyak barang-barang tertentu yang semestinya belum layak dikonsumsi oleh bangsa ini, telah diperkenalkan dan kemudian menjadi mode yang ditiru sehingga meningkatkan impor akan barang tersebut. Ini belum ditambah dengan barang-barang mewah yang beredar mulai dari alat-alat kecantikan sampai kepada mobil-mobil mewah. Padahal pola hidup seperti ini hanya akan memperburuk neraca transaksi berjalan karena meningkatkan impor barang tersebut sehingga menguras devisa dan pada gilirannya akan menekan nilai tukar mata uang dalam negeri. Islam memberikan arahan yang sangat indah dengan memperkenalkan konsep israf (berlebih-lebih) dalam membelanjakan harta dan tabzir. Islam memperingatkan agen ekonomi agar jangan sampai terlena dalam berlomba-lomba mencari harta (at-takaatsur). Islam membentuk jiwa dan pribadi yang beriman, bertaqwa, bersyukur dan menerima. Pola hidup konsumtivisme seperti di atas tidak pantas dan tidak selayaknya dilakukan oleh pribadi yang beriman dan bertaqwa. Satu-satunya gaya hidup yang cocok adalah simple living ( hidup sederhana) dalam pengertian yang benar secara syar’i. Namun amat disayangkan karena gerakan hidup sederhana dipandang kuno, konservatif dan tidak popular sehingga pemerintah tidak pernah menggalakkannya. Justru sebaliknya, barang mewah diimpor besar-besaran dengan harapan ada pemasukan dari pajak yang tinggi. Namun karena korupsi yang begitu menggurita, maka perolehan pajak barang mewah jauh di bawah target. Sesungguhnya argumen itu hanya tameng bagi orang kaya Indonesia untuk mendapatkan keinginan mereka diloloskan oleh pemerintah. Lain dari hal itu rasanya tidak ada. Persoalan-persoalan lain seperti keuangan publik, pajak, inflasi, pengangguran dan lapangan pekerjaan, semestinya juga dicarikan arahan jalan keluarnya dari ajaran Islam. Haruslah diakui bahwa menata makroekonomi Indonesia dengan mengambil basis dari ajaran Islam masih memerlukan waktu yang amat panjang dan perjuangan serta jihad yang tidak pernah berhenti (juhd mutawashil). Hal ini kita rasakan karena infrastruktur fisik dan psikologis sama sekali tidak mendukung terciptanya suasana baru ini. Sekalipun di satu sisi terlihat begitu besar ombak hambatan dan gelombang rintangan, namun di sisi lain terlihat tanda-tanda kemudahan yang menyisakan secercah harapan di depan. Tanda-tanda itu misalnya sistem keuangan Islam telah diakui oleh dunia termasuk Bank Dunia dan IMF. Perkembangan lembaga keuangan Islam juga terus berkembang di dunia bahkan di belahan dunia yang mewajibkan bunga dan mengharamkan non bunga. Mudah-mudahan kita dapat menangkap isyarat zaman itu sebagai obor semangat untuk tetap berjuang menegakkan haq. Wallahu a’lam bis-Shawab.

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Menata Makroekonomi Indonesia Secara Islami"

Posting Komentar