Rabu, 21 Juli 2010

Perkembangan Akuntansi Syariah di Indonesia


Oleh : Fatmawati N. F
CIES Members

DASAR PEMIKIRAN
  • Qs Al Baqarah : 282 “……apabila kamu bermuamalahtidak secara tunai untuk waktu Yang di tentukan hendaklah kamu menuliskannya ….”.
  • Al Hadits: yang akan di hisab pertama kali adalah shalat.
  • Imam syafi’i: siapa yang mempelajari hisab (perhitungan) luaslah pikirannya.
  • Ibnu Abidin : catatan (pembukuan ) seorang agen (makelar) dan kasir bisa menjadi bukti berdasarkan kebiasaan yang berlaku.

KILAS BALIK
Riset dalam akuntansi Islam menerangkan syariatIslam sudah mencakup kaidah - kaidah dan hukum - hukum yang mengatur operasional pembukuan (akuntansi), muamalah, atau perdagangan, bahkan studi tentang peradaban Islam pun menerangkan bahwa aturan akuntansi (dalam bentuk tertentu) sudah ada sejak awal berdirinya Daulah Islamiah, yang diantara bagiannya sama dengan akuntansi kontemporer. Sejak awal berdirinya Negara Islam Sistem Akuntansi Islam sudah diterapkan dalam kesatuan perekonomian, lembaga – lembaga dan kantor pemerintah. Hal ini karena sudah ada UU Akuntansi untuk kerjasama seperti Mudharabah, syirkah serta UU wakaf, warisan dan Baitul Maal.
Akuntansi merupakan media untuk memperoleh info keuangan dari sebuah entitas bisnis bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengambil keputusan - keputusan ekonomi. Munculnya Suma de Aritmathica, Geometrica, Proportioni et Proportionalita (1494) mampu memberi kontribusi yang besar bagi system ekonomi kapitalis.
Double entry book keeping, menurut Storrar dan Seorgie(1988 )sebetulnya tidak terlepas dari keterlibatan Leonardo da Pisa yang pernah belajar melakukan perjalanan ke Mesir, Syiria, Yunani dan Sisilia. Ia pula secara efektif telah memperkenalkan angka arab, hindu dan aljabar ke Eropa barat. Dari perjalanan angka-angka inilah double entry book keeping berkembang pesat. Ada dugaan, tempat kelahiran tata buku berpasangan ini dari Spanyol. Ini sesuai dengan pernyataan Litleton dan Yamay yang menyatakan :
“Teknik tata buku berpasangan ini mestinya berasal dari Spanyol, dengan alas an bahwa kebudayaan dan teknologi muslim abad pertengahan lebih unggul dan canggih disbanding dengan eropa barat, Spanyol pada waktu itu adalah saluran utama dimana kebudayaan dan teknologi muslim ini dibawa ke eropa (1978).”
Hasil penelitian shahata “… di dunia Islam juga dikenal akuntansi juga dikenal akuntansi sektor public yang dikembangkan dibawah pengawasan bagian keuangan pemerintah yang disebutBayt Al Mal yang membentuk system pembukuan yang amat canggih dan jaringan informasi akuntansi.
Ada juga hasil penelitian Hamid dkk : Sumber akuntansi bukan dari Italia melainkan dari jaman kejayaan Islam. Praktek pembukuan berpasangan telah diterapkan oleh pemerintah Islam pada abad kesepuluh.

SEJARAH GAGASAN AKUNTANSI
1. IdeologiAkuntansi Islam sejak munculnya Islam sampai abad 14
Karya –karya besar ulama’ salaf;
a) Shubul A’sya fi shinaatil insya’al qolqolshqndi.
b) Al Amwal (ibnu Ubaid).
c) Al Kharaj(Abu Yusuf),dll.
Perhatian untuk pembukuan ini masih berjalan sesuai dengan kaidah kaidah Islam di Negara Negara Islam sampai masuknya gerakan ghazwul fikr ke mayoritas Negara Islam terutama setelah runtuhnya khilafah Islamiah.
2. Ideologi Akuntansi Islam pada awal abad ke -14
Runtuhnya khilafah Islamiah serta tidak adanya perhatian dari pemikir - pemikir Islam untuk mensosialisasikan hukum Islam ,ditambah lagi dengan dijajahnya oleh kebanyakan negara negara kuat seperti Inggris dan Perancis sangat mempengaruhi segala sendi muamalah , khususnya keuangan
3. Ideologi Akuntansi Islam Di Zaman Modern (zaman Kebangkitan baru)
a) Dalam bidang riset
Telah terkumpul tidak kurang dari 50 buah tesis dan disertasi tentang akuntansi (di Al Azhar, s.d akhir ’93). Disamping itu juga terdapat riset yang tersebar di majalah - majalah ilmiah . Proses ini terus berlanjut sampai sekarang .
b) Dalam pembukuan
Munculnya pencetus pencetus baru dengan gagasan yang segar seperti :
  • Muhaasabah zakat al maal ‘Ilman wa amalan (dr. syauqi kairo; pustaka Angola 1970)
  • At takalif wa as ar fil fikri Islami (Dr. M Kamal Athaiyah 1977)
  • Muhasabah az zakah ( Dr husain S Kairo : persatuan bank bank Islam sedunia 1979),dll.
c) Dalam bidang pengajaran
Konsep Akuntansi Islam pertamakali masuk ke sekolah dan perguruan tinggi di fakultas perdagangan di univ Al Azhar untuk program paascasarjana (1976) pada 1978 di buka beberapa jurusan dalam cabang cabang ilmu akuntansi
d) Kebangkitan Akuntansi Islam dalam seminar seminar dan lembaga riset
Banyak sekali seminar Internasional yang telah dilakukan serta riset –riset sebagai terobosan baru sebagai bahan untuk dikaji dan didiskusikan secara detail dan serius.Juga merupakan lapangan untuk pengembangan penafsiran – penafsiran sekaligus menjelaskan kepada peserta seminar bahwa Islam mengandung pokok – pokok dan undang –undang Akuntansi yang belum dibahas dan tidak diketahui sama sekali oleh para pakar ilmu akuntansi konvensional.
e). Aspek Implementasi
Munculnya lembaga –lembaga keuagan islam, asuransi islam ,perusahaan Investasi Islam dan BMT islami.
Lembaga ini sangat membutuhkan kaidah – kaidah dan UU Ak. Islam Memang telah ada usaha aekelompok pakar akuntansi .namun usaha ini memerlukan keseriusan dan usaha lebih lanjut .
Secara singkat jelaslah bahwa umat islam meletekkan dasar-dasar bagi perkembangan bagi perkembangan akuntansi modern yang ada saat ini .Peranan ini sebetulnya tidak terlepas dari pemahaman tentang teologi mereka ,yang dipahami secara bebas dan rasional ini mereka tidak hanya mampu memberikan kontribusi yang besar bagi akuntansi namun juga peradaban manusia .Tetapi ketika umat Islam meninggalkan dasar – dasar teologi yang bebas dan rasional tadi ,karya karya besar umat Islam jaman klasik diambil alih oleh bangsa Barat yang tentu sangat kental dengan nilai nilai barat itu sendiri.

BAGAIMANA DENGAN DI INDONESIA ?
Sejauh ini UU akuntansi Islam belum ada ,kecuali PSAK No.59 TH 2001 tentang Akuntansi Perbankan Syariah. Sedang akuntansi secara umum masih terbatas pada teori dan konsep dalam taraf penggodokan, jika ada instansi yang telah memakai prinsip akuntansi Islam ,tentu masih sangat terbatas.
Sejauh ini sudah ada seminar dan pelatihan serta kegiatan serupa ,misalnya SAVE (syariah Accounting Event), Pelatihan dasar Akuntansi Syariah “P ‘KIS CIES FE UNIBRAW”.

ASELERASI EKONOMI
Belum dipraktekkannya ajaran Islam scara utuh dalam perekonomian sehari - sehari mungkin, karena masyarakat belum yakin karena belum membuktikan atau karena kendala lain yang lebih yang lebih kompleks sehingga masyarakat belun mampu menerapkannya. Padahal keberhasilan ekonomi syariah sudah ada, meski bukti tersebut terlalu kecil bagi suatu kehidupan ekonomi yang utuh. Mencermati fenomena lambannya penerapan ekonomi Islam khususnya akuntansi maka sudah menjadi kewajiban bagi para pemikir Islam untuk berupaya mempercepat prosese terlaksananya tatanan ekonomi Islam. Tentu saja hal ini tidak hanya cukup dengan melakukan kajian - kajian keilmuan dibalik meja.
Langkah awal telah mulai dengan praktek lembaga keuangan (Bank syariah, asuransi syariah, dan berbagai lembaga BMT)

STRATEGI PENDUKUNG
Strategi pendidikan
Langkah 1 : melalui ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ekonomi Islam
Misal : Man. Keu & Bank, Perdagangan, etika, dll.
Konkrit : Menteri Pendidikan Malik Fajar mendukung ekonomi Islam dijadikan kurikulum dikti, Bank Indonesia membuat peraturan bank syariah, Dept. Keuangan & IAI menunjang perkembangan bank syariah dengan PSAK No. 59 ttg. Standart akuntansi perbankan syariah di Indonesia.
Langkah 2 : persiapan kearah programpendidikan yang terpadu.
Persiapan Materi & ltenaga yang kompeten , sumber pembiayaan.
Konkrit : BREVITIES, lembaga tazkia, lembaga riset syariah, dll.


Maroji’
Syahatah Husein : Pokok – pokok pikiran Akuntansi Islam ; Jakarta .Akbar Media eka Sarana,2001.
Triyuwono Iwan : Metafora zakat dan Shariah Enterprise Theory sebagai konsep dasar dalam membentuk akuntansi shariah : CIES ‘P-KIS’ FE- UNIBRAW 2002

Kegagalan Ekonomi Global


Tulisan Oleh : Ali Sakti (Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekonomi International Islamic University, Selangor, Malaysia)

World Trade Organization (WTO) menjadi ikon ekonomi yang sangat sakral pada abad ini. Organisasi perdagangan ini dimaksudkan untuk menjaga kelancaran sekaligus mendorong pertumbuhan perdagangan dan ekonomi dunia. Memperkecil hambatan-hambatan dalam perdagangan, penyebaran teknologi, dan peningkatan produktivitas, juga menjadi tujuan utama organisasi ini.
Globalisasi secara sepintas memang lebih merupakan pemenuhan kepentingan sektor swasta, terutama perusahaan multinasional. Globalisasi sebagian besar merupakan cerita bagaimana perusahaan multinasional mengambil alih peran negara dalam menentukan jalannya perekonomian dunia.
Pertimbangan biaya, produktivitas pekerja, superioritas teknologi dan pertimbangan comparative advantage lainnya, menjadikan globalisasi sebagai jawaban atas masalah perdagangan dunia pada beberapa dasawarsa belakangan ini.
Ini sebenarnya sejalan dengan visi dari sistem kapitalis yang berparadigma pasar (market mechanism paradigm), yang menyerahkan jalannya ekonomi sepenuhnya kepada pasar. Pemerintah hanya akan turut campur ketika pasar diganggu oleh interupsi luar (externalities) atau kegagalan pasar (market failures).
Sidney Weintraub (2000) dalam komentarnya tentang globalisasi mengatakan bahwa globalisasi bagaikan jin yang keluar dari botol, yang menyediakan investasi, arus keuangan, perdagangan dan keuntungan teknologi bagi seluruh negara yang menganggotai organisasi ini. Terlepas bahwa globalisasi ini akan memberikan efek negatif kepada sejumlah negara, Weintraub dalam komentarnya menggaris bawahi bahwa globalisasi memberikan efek efisien kepada proses perdagangan dunia.
Memang benar globalisasi artinya meminimalisasi atau bahkan mengeliminasi segala kendala atau hambatan dalam perdagangan dunia, yang diharapkan akan memperlancar proses perdagangan itu sendiri.
Semakin cepat dan canggihnya perkembangan teknologi terutamanya teknologi komunikasi membuat proses globalisasi berputar lebih cepat dari yang diperkirakan. Sehingga bukan hanya kendala birokrasi saja yang terpotong, namun jumlah biaya untuk proses dagangpun menjadi lebih kecil.
Dalam dua dekade ini perkembangan ekonomi yang sangat mencolok adalah perkembangan sistem keuangan dunia. Pertumbuhan money market dan bond market berikut secondary market begitu cepat, hingga pertumbuhannya mampu melebihi pertumbuhan perdagangan di sektor real. Perkembangan baik kualitas maupun kuantitas transaksi di pasar ini berakibat ketidakseimbangan antara pasar uang dan pasar barang.
Berdasarkan data yang dimiliki sebuah NGO ekonomi di AS, volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) berjumlah 1,5 triliun dolar AS dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi pada perdagangan dunia di sektor real hanya 6 triliun dolar AS setiap tahun.
Robin Hahnel dalam artikelnya Capitalist Globalism In Crisis: Understanding the Global Economic Crisis (2000), mengatakan bahwa globalisasi, khususnya dalam financial market, hanya membuat pemegang asset semakin memperbesar jumlah kekayaannya tanpa melakukan apa-apa.
Mereka hanya memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam pasar uang untuk berspekulasi yang menumpuk kekayaan mereka. Dapat dikatakan uang tertarik pada segelintir pelaku ekonomi meninggalkan lubang yang menganga pada sebagian besar spot ekonomi.
Hahnel juga menyoroti bagaimana sistem kredit atau sistem hutang sudah memerangkap perekonomian dunia sedemikian dalam. Apalagi mekanisme bunga (interest rate) juga menggurita bersama sistem hutang ini, yang kemudian membuat sistem perekonomian harus menderita ketidakseimbangan kronis.
Sistem hutang ini menurut Hahnel hanya melayani kepentingan spekulator, kepentingan segelintir pelaku ekonomi. Namun segelintir pelaku ekonomi tersebut menguasai sebagian besar asset yang ada di dunia. Jika kita kaji pemikiran Hahner ini lebih mendalam akan kita lihat dengan sangat jelas bahwa perekonomian akan berakhir dengan kehancuran akibat sistem yang dianutnya.
Dalam dasar ilmu ekonomi kita ketahui bahwa keseimbangan pasar adalah hal yang sangat vital dalam memastikan kelancaran pasar. Namun ketika sistem kredit merajalela seiring dengan pesatnya perkembangan sistem tersebut di pasar uang (financial market system), keseimbangan ini terganggu.
Terciptanya uang yang meningkatkan jumlah permintaan uang melalui kredit atau bunga relatif tidak terkontrol. Begitu juga ketika uang itu sendiri menjadi komoditi (diperdagangkan), otomatis pasar uang semakin mempercepat penumpukan permintaan uang.
Karena pasar uang ini sebagian besar berada dalam sistem hutang maka sebagian besar uang beredar ini tidak riil. Akhirnya ketidakseimbangan akan mengganggu ekonomi, yaitu ketika sebagian besar beban hutang/kredit tersebut jatuh tempo.
Pada saat itu keterpurukan ekonomi terjadi, permintaan uang untuk memenuhi kewajiban jatuh tempo melebihi uang yang beredar. Konsumsi akan berkurang karena sebagian pendapatan digunakan untuk membayar hutang.
Tabungan terkuras untuk menutupi beban hutang. Akibatnya kemudian investasi menjadi mahal. Kelesuan pada investasi, konsumsi, dan pasar keuangan, menjerumuskan ekonomi pada krisis.
Perlu dipahami bahwa sistem kredit di perekonomian memicu ketidakseimbangan di pasar uang. Ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran uang. Namun pada dasarnya sistem kredit menciptakan uang (yang tidak riil) melalui bunga.
Secara teori memang kartu kredit dan sejenisnya tidak dikatakan sebagai uang beredar, tapi pada hakekatnya jenis transaksi inilah yang kemudian menggelembungkan ketidakseimbangan di pasar uang.
Pada skala satu negara, ketika ketidakseimbangan ini ada, maka yang menjadi kecenderungannya kemudian adalah kebangkrutan ekonomi pada tingkat perusahaan maupun perorangan. Ini yang diprediksikan akan terjadi di Australia oleh para analis ekonomi.
Berdasarkan laporan Gatraonline, 26 desember 2001, hutang rumah tangga Australia kini menyamai hutang luar negeri negara. Bahkan berdasarkan data terakhir menunjukkan hutang rumah tangga melebihi hutang luar negeri, yaitu hutang rumah tangga mencapai 201 triliun dolar AS, sedangkan hutang luar negeri hanya mencapai 172 triliun dolar AS.
Hal ini diakibatkan pemakaian kartu kredit yang berlebihan. Data juga menunjukkan 6 dari 10 dolar Australia yang dibelanjakan adalah dalam bentuk hutang melalui kartu kredit. Tentu keadaan ini akan membuat kondisi ekonomi Australia akan lesu pada masa-masa mendatang akibat pendapatan perorangan akan tersedot untuk membayar hutang. Hal ini juga bermakna penurunan tingkat konsumsi masyarakat yang memicu kelesuan ekonomi secara nasional.
Perusahaan konsultan manajemen Dun & Bradstreet meramalkan kebangkrutan perorangan akan meningkat pesat. Bahkan berdasarkan perhitungan, kemudahan sistem kredit ini diakses oleh masyarakat memberikan kontribusi 30 persen peningkatan kebangkrutan perorangan.
Secara hakikat hal ini juga berlaku pada banyak perusahaan di dalam satu negara. Akhirnya negara akan terperangkap oleh hutang dan susah untuk menghindar dari krisis. Jadi dengan kata lain selama negara yang mengalami krisi financial dan mencoba keluar dengan cara hutang, cepat atau lambat ia akan kembali terperangkap oleh krisis.
Dalam skala global, akan terlihat bagaimana ketidakseimbangan finansial antara negara kreditor dan negara debitor. Dengan sistem kredit yang ada, dapat dipastikan negara kreditor akan aman dalam posisinya.
Karena sebagian besar uang beredar dunia ada dalam simpanan mereka. Kemudian kondisi finansial dunia seperti ini membuat sekelompok negara tertentu menjadi pemegang setir atas jalannya perekonomian dunia. Dan globalisasi membuat mereka terus berada dalam posisi yang aman.
Di sektor real pemegang asset (umumnya pada negara-negara maju) kemudian mengontrol perdagangan dengan memperluas branches produk mereka. Sementara pelaku ekonomi lainnya (umumnya pada negara-negara berkembang) hanya dipaksa menjadi konsumen abadi, atau sekedar produsen yang terus membayar royalti kepada pemegang asset.
Eksploitasi memang tidak begitu terlihat pada level ini, namun jika lihat dari perspektif bagaimana perekonomian dunia berjalan, maka akan kita ketahui dengan jelas eksploitasi terjadi oleh pemegang asset terhadap pelaku pasar lainnya.
Akhirnya pemegang asset ini memanfaatkan posisi kuatnya untuk mengendalikan ekonomi dunia, baik secara individu sebagai spekulator dan kreditor maupun secara kolektif institusi seperti negara.
Dan tak tertutup kemungkinan mereka mengalihkan kewenangan ini bukan hanya pada sektor ekonomi tapi juga di sektor politik dan budaya. Maka sangat alami sekali ketika ketidakseimbangan dalam ekonomi terjadi, krisis menjadi tanda bahwa ada yang tak beres dalam perekonomian.
Sementara itu institusi keuangan dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan grup-grup negara donor kini banyak dikritik karena kebijakan yang mereka persyaratkan untuk membantu sebuah negara yang mengalami krisis tidak memiliki efek yang positif.
Bahkan treatments yang mereka tawarkan semakin memperburuk kondisi perekonomian, yaitu kebijakan yang terus menggunakan hutang sebagai alat jalan keluar.
Akhirnya pertanyaan mau kemana globalisasi ekonomi ini pergi susah untuk dijawab. Ketika arah yang sebenarnya dituju ternyata lebih besar kemungkinannya adalah jurang kehancuran. Sebab globalisasi sebagai usaha turunan dari prinsip dasar kapitalis menjadi semakin tidak jelas, ketika kini kapitalis pun mulai banyak diragukan kemampuanya menjadi dasar nilai dari jalannya perekonomian.
Sistem kredit yang saat ini sudah mendarah daging susah untuk dihindari, negara atau dunia tidak memiliki kuasa kontrol atas laizes faire yang dimiliki kapitalis. Ekonomi dunia lebih cenderung menuju kebangkrutan akibat menggunakan hukum rimba.
Keseimbangan (equilibrium) dengan harapan tercipta oleh invisible hand-nya Adam Smith kian menjadi mimpi. Tapi memang inilah sebenarnya kecenderungan ekonomi yang mengedepankan free trade daripada fair trade.
Pada skala negara ekonomi relatif terkawal dengan berbagai wewenang yang dimiliki oleh otoritas ekonomi, tapi pada skala global ia terkesan tak terkendali karena pasarlah yang menentukan jalannya perekonomian. Perhitungan-perhitungan ekonomi dengan maksud mengawal jalannya ekonomi, hanya dilakukan pada tingkat negara.
Sedangkan pada tingkatan global ia relatif terabaikan. Padahal ketika globalisasi bergulir sepatutnya data-data ekonomi global juga menjadi tools untuk mengawal jalannya ekonomi dunia. Pemecahannya mau tak mau adalah harus kembali mengevalusi secara seksama sistem kapitalis yang digunakan saat ini, berikut instrumen-instrumen ekonomi di bawahnya. Tantangan bagi ekonomi Islam? Wallahu a'lam bishawab.

Senin, 19 Juli 2010

Sumber Daya Insani, Faktor Penting Pengembangan Perbankan Syariah

Berdasarkan UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 tujuan pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk mewujudkan sistem dan tatanan perbankan syariah yang sehat dan istiqomah dalam penerapan prinsip syariah.
Untuk mencapai tujuan pengembangan perbankan syariah tersebut, maka kebijakan pengembangan perbankan syariah pada dasarnya mengacu pada empat strategi utama, yaitu :
Pertama, menerapkan program untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai bank syariah. Upaya peningkatan pemahaman ini sangat penting, karena disadari bahwa perbankan syariah di Indonesia masih dalam tahap awal pengembangan.
Kedua, adalah dengan membentuk mekanisme pengembangan jaringan kantor bank syariah. Pengembangan jaringan kantor bank syariah ini diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Berkembangnya jaringan kantor bank syariah juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan mendorong inovasi produk dan jasa perbankan syariah.
Ketiga, adalah dengan menyusun dan menyempurnakan perangkat ketentuan operasional baik kelembagaan, kegiatan usaha, instrumen moneter, maupun pasar keuangan.
Keempat, adalah pengembangan sumber daya insani (SDI). Berkaitan dengan SDI ini maka dirasakan masih langkanya SDI yang mampu dan siap untuk memenuhi kebutuhan operasional bank syariah. Kendala di bidang SDI dalam pengembangan perbankan syariah ini terjadi disamping sistem perbankan syariah di Indonesia relatif masih baru dikembangkan, juga masih terbatasnya lembaga akademik dan pelatihan di bidang perbankan syariah.
Selanjutnya penting untuk dikemukakan bahwa keberhasilangan pengembangan perbankan syariah bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan upaya penyebarluasan informasi, penyusunan atau penyempurnaan perangkat ketentuan hukum, atau banyaknya pembukaan jaringan kantor, tetapi juga sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya insani para pelaku perbankan syariah, yaitu para bankir, nasabah dan investor (masyarakat pengguna jasa) dalam memanfaatkan bank syariah sebagai bagian dari sistem keuangan yang rahmatan lil alamin.
Para bankir, nasabah, maupun investor pengguna jasa hendaknya menggunakan sistem perbankan syariah dengan berlandaskan kepada kompetensi usaha dan perilaku yang penuh integritas. Kompetensi usaha dan perubahan perilaku dapat terjadi apabila terdapat kesediaan dari masyarakat untuk mau mempelajari kegiatan perbankan syariah sebagai sebuah sistem disamping sebagai ajaran muamalah.
Integritas akan tetap terpelihara apabila para pelaku perbankan syariah menyadari bahwa transaksi yang dilakukan adalah hubungan muamalah sehingga memiliki tanggung jawab dunia dan akhirat. Adanya pembangunan SDI syariah yang memiliki dimensi dunia dan akhirat sesuai dengan hadist Rasulullah SAW :
“Bukanlah sebaik-baiknya kamu orang yang bekerja untuk dunianya saja tanpa akhiratnya, dan tidak pula orang-orang yang bekerja untuk akhiratnya saja dan meninggalkan dunianya. Dan sesungguhnya, sebaik-baiknya kamu adalah orang yang bekerja untuk akhirat dan untuk dunia”
Pernyataan hadist Rasulullah dimaksud jelas menunjukkan adanya keseimbangan antara hubungan manusia dengan manusia serta hubungan antara manusia dan Allah SWT. Hadist tersebut juga secara implisit mengharuskan adanya keseimbangan yang harmonis antara faktor intelektual, emosional dan pendalaman spiritual tauhid sumber daya insani perbankan syariah (lebih dikenal dengan Inteligent Quetion, Emotional Quetion dan Spiritual Question. Redaksi).
Secara aplikasi pengembangan sumber daya insani perbankan syariah diharapkan memiliki akhlak dan kompetensi yang dilandasi oleh sifat yang dapat dipercaya atau amanah, memiliki integritas yang tinggi atau shiddiq, dan senantiasa membawa dan menyebarkan kebaikan atau tabligh, serta memiliki keahlian dan pengetahuan yang handal atau fathonah.

Kesiapan Pengusaha Dan Ummat Dalam Menerapkan Sistem Ekonomi Syariah

Tulisan Oleh : Aries Muftie (Direktur PT. Permodalan Nasional Madani)


A. Pendahuluan
Adalah tidak wajar bagi seorang muslim menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk kesibukan berbisnis dan melupakan adanya hari akhirat, meskipun ingat hari akhirat namun waktu yang digunakannya tidak membawa manfaat, atau terbuang percuma karena tidak mendasari segala aktivitasnya dengan niat. Seorang ulama salaf menyatakan : “yang paling utama bagi seseorang berakal adalah yang paling diperlukannya masa kini. Sedangkan yang paling diperlukannya masa kini adalah yang paling banyak membawa kebahagiaan di masa mendatang (akhirat).”
Karena itu marilah kita mulai dari sekarang dengan mempersiapkan modal/uang atau harta dan diri kita (SDM) untuk konsisten mengkaji, menerapkan dan mengembangkan sistem ekonomi Islam. Sebagaimana Muadz bin Jabal mengatakan : “… engkau memang perlu memperoleh bagianmu dari dunia, namun lebih perlu lagi memperoleh bagianmu dari akhirat…” Wasiat tadi menyuruh kita untuk mulai berbisnis menggunakan sistem yang berbasis muamalah syariah (ekonomi syariah).
Allah berfirman: “… dan janganlah engkau melupakan bagianmu dari dunia…” (Al Qashah:77). Dunia adalah ladang akhirat, didalamnya manusia menghasilkan perbuatan-perbuatan kebajikan.

B. Landasan Ekonomi Syariah
Banyak dari teori-teori ekonomi modern yang merupkan hasil replikasi dari pemikiran ekonomi muslim. Oleh karena itu sikap ummat Islam terhadap ilmu-ilmu ekonomi barat jangan terlalu terpesona, marilah kita kembali dengan kitab-kitab klasik Islam. Didalam kita klasik itu banyak kita gali teori-teori ekonomi syariah sehingga bisa dikondisikan ke ekonomi modern.
Sebagai contoh, banyak tokokh ekonomi konvesnsional menyatakan adanya unsur terpenting dan mempunyai pengaruh yang besar dalam menciptakan kesejahteraan yang merata berdasarkan adil dan makmur, yaitu adanya unsur moral atau etika, yang merupakan bagian terpenting dari landasan semua agama. Maka, sifat moral atau etika juga harus diterapkan bagi setiap pengusaha atau eksekutif atau profesional atau pejabat apapun dan juga setiap ummat yang ada di bumi Indonesia ini sebagai bagian dari unsur fit and proper test. Khususnya bagi seorang muslim, moral atau etika merupakan suatu unsur inheren sehingga tetap mempunyai komitmen yang kuat dalam mewujudkan sistem ekonomi berbasiskan ekonomi syariah. Sistem ekonomi yariah disini bukanlah sekadar imbuhan belaka, dimana setiap ada ilmu kita imbuhkan dengan syariah padahal sebenarnya tidak, yaitu apabila kita selalu menghubungkan segala aktivitas dengan maqashid syariah amua tidak mau value yang diterima oleh seorang muslim adalah ibadah dan pahala dari Allah SWT.
Masa depan ekonmi menurut M. Umer Chapra adalah terletak pada kesungguhan muslim itu sendiri dalam mengimplementasikan sistem ekonomi syariah dan etika bisnis syariah, dan ini tidak mungkin terwujud bila kita sebagai khalifah tidak memenuhi persyaratan fit and proper test, dimana fit berarti bersih (shiddiq dan amanah), dan transparan (tabligh), sedangkan proper berarti profesional (fathonah). Bersih transparan da profesional adalah merupakan formula sistem pengelolaan yang Good Corporate Governance.
Sedangkan dalam menjalankan sistem ekonomi syariah, maka secara otomatis akan terjadi redistribusi aset produksi melalui mekanisme pasar yang berkeadilan sebagaimana yang dijalankan Rosulullah SAW, bahwa harga itu urusan Tuhan, karena pada hakikatnya sistem ekonomi syariah tidak akan pernah membiarkan harta atau aset itu hanya beredar di kalangan tertentu saja. Melalui majelis seminar ini, yang mengambil tema Prospek dan Tantangan Industri Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah dalam Perspektif Pasar dan Sumberdaya Insani, maka penulis mengusulkan bagi para praktisi/akademisi ekonomi, orang tua, calon mahasiswa, calon pemberi beasiswa dan lembaga-lembaga pendidikan hendaknya mempersiapkan 3 (tiga) kriteria pokok : kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas dalam menuju ekonomi syariah

C. Persiapan Untuk Pengusaha dan Ummat
Sebaik-sebaiknya bekal (persiapan) dalam kehidupan di dunia adalah menuju insan muttaqin. Untuk mewujudkan predikat taqwa yang kita raih tersebut, maka setiap muslim hendaknya memberikan keprihatinan dan kepedulian penuh terhadap beberapa elemen berikut ini :

01. Memulai Usaha dengan niat yang baik.
- Bagi para pengusaha, mulailah dengan meneguhkan niat untuk senantiasai mengutamakan ketulusan dan kejujuran dalam bermuamalah (bisnis). Kemudian mempunyai keyakinan bahwa bisnisnya sejalan dengan syari’ah sehingga untung atau rugi tetap akan memperoleh keuntungan diakhirat.
- Predikat jujur harus sudah ada pada diri muslim, sebagaimana awalnya Nabi Muhammad SAW diberi gelar Al Amin (kredibilitas), yang sebelum diangkat sebagai nabi tidak punya apa-apa, mengapa setelah itu dapat menjadi orang kaya. Modal kita adalah nama baik kita sendiri

02. Memilih jenis usaha yang tergolong halai atau fardhu kifayah.
- Bagi para pengusaha maupun ummat, marilah secara bersama-sama membangun jenis usaha yang halal dan menggunakan sistem syari’ah, serta menghidupkan jenis usaha yang bersifat fardhu kifayah yaitu memilih jenis usaha yang penting dan perlu untuk kemaksiatan, atau sebagai produsen untuk produk yang najis (khamr), peternak babi dsb.

03. Jangan sampai disibukkan pekerjaan sehingga melupakan shalat.
- Para pengusaha dan ummat marilah sama-sama mementingkan kepentingan Allah semata dan saling memberi nasihat ketika dalam melakukan bisnis, misalnya dalam melakukan transaksi pada waktu shalat jum’at sedang berlangsung atau benar-benar menyengajakan meninggalkan shalat fardhu demi keuntungan rupiah, atau selalu menunda-nunda shalat di akhir waktu. Disamping itu marilah tegakkan shalat dengan berjama’ah, nilai jama’ah inilah yang akan memberikan rasa kebersamaan kita tidak ada perbedaan antara pengusaha atau pemilik dengan pekerja atau pengguna jasa, semuanya sama.

04. Terus berzikir selama berada dipasar
- Selalu mengingat Allah dimana saja berada, terlebih ketika masuk ke dalam pasar, dunai bisnis. Umar r.a. setiap memasuki pasar membaca do’a “ Allahumma inni a’udzu bika minalkufri walfusuqi wamin syarri maahathat bihi assuuq. Allaahumma inni a’udzu buka min yamiinin fajirah wa shafqatin khasirah”. Artinya Ya Allah aku berlindung kepada Mu dari kekufuran dan kefasikan serta dari kejahatan apa saja yang melingkupi pasar ini. Ya Allah aku berlindung kepada Mu dari ucapan sumpah palsu atau transaksi jual beli yang merugikan.

05. Jangan terlalu ambisius ketika berbisnis
- Demi kesempurnaan sikap kehati-hatian, maka seorang pedagang atau pengusaha hendakalah memperhitungakan waktu yang secukupnya dlam mencari nafkah. Apabila telah memperoleh kecukupan, hendaklah ia pulang dan menyibukan dirinya dengan perniagaan akhirat. Disebutkan dalam hadits : “Seburuk-buruk tempat adalah pasar-pasar dan seburuk-buruknya penghuninya adalah yang pertama memasukinya dan yang terakhir meninggalkannya.”

06. Menjauhkan diri dari segala yang meragukan
- Mungkin kita sudah mengetahui dengan jelas sesuatu yang bersifat haram dan tentu mudah pula untuk meninggalkannya, tetapi sukar sekali untuk sesuatu yang sifatnya meragukan (syubhat) atau yang dapat menimbulkan prasangka buruk terhadap dirinya, maka dalam hal ini janganlah hanya mempertimbangkan pelbagai fatwa orang lain, tetapi hendaklah meminta fatwa dari hati nurani sendiri.

07. Senantiasa Meneliti Kembali (mengevaluasi) segala aktivitas bisnis.
- Setiap pengusaha (businessman), hendaknya selalu mengevaluasi kembali apakah semua transaksi yang telah dikerjakannya termasuk dalam kebaikan (benar) atau keburukan (salah). Layaknya ada seorang auditor atau malaikat pengawas yang akan mengevaluasi seluruh pekerjaan kita sehari-hari. Ingatlah selalu malaikat pengawas Raqib dan Atid. Pada hari kiamat kelak, para pengusaha akan dipertemukan kembali dengan setiap orang yang pernah menggunakan produk atau jasa dari pengusah dan masing-masing akan dihisab dengan amat teliti.

08. Melakukan Ihasan dalam Membayar Utang atau Menagih Utang.
- Ihsan dalam menagih atau membayar utang harus dilakukan sehingga tidak terjadi perselisihan yang tidak diinginkan bersama. Bagi pemilik utang hendaklah menyegerakan membayar utangnya dengan tidak melakukan penundaan secara sengaja, begitu pula sebaliknya bagi pemilik piutang hendaknya menagih dengan cara yang ihsan, apabila si pengutang tidak mampu bayar maka beri tanggulah. Nabi bersabda : “Yang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik dalam cara pelunasannya.” Hadits lain adalah Ambilah hakmu dengan cara secukupnya dan seadil-adilnya, sepenuhnya ataupun tidak, niscaya Allah akan menghisabmu dengan hisab yang ringan.

D. Persiapan Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)
Dalam upaya menigkatkan profesionalisme dan sebagai lembaga keuangan utama yang mempromosikan dan menjalankan sistem ekonomi syariah, maka para pejabatnya teap dituntut untuk bekerja lebih keras lagi, kerja cerdas, kerja ikhlas lagi. Para menejmen harus mempunyai jiwa entrepreneur dan kompeten dalam bidangnya. Hal ini dirasakan akan lebih banyak lagi LKS yang berdiri dan dengan adanya sistem pasar yang terbuka, maka dampaknya adalah semakin luasnya cakupan pelayanan ke seluruh Indonesia atau ke luar negeri atau masuknya sebagai bagian dari kompetitor apabila LKS asing masuk ke Indonesia.
Para pemilik atau pemegang saham LKS hendaknya juga melakukan kerjasama dan selalu mempersiapkan diri terhadap perkembangan sistem perekonomian secara umum yang semakin pesat, seperti tuntutan terhadap level playing fields antar LKS.
Secara global langkah-langkah yang perlu diambil oleh LKS dalam mengembangkan sistem ekonomi syari’ah adalah :
1. Merumuskan strategi pengembangkan jangka panjang, sebagai langkah proaktif terhadap perubahan yang akan terjadi.
2. Istiqomah (memberikan komitmen) untuk melaksanakan terhadap langkah-langkah yang telah ditetapkan.
3. Membuat produk-produk yang efesien dan efektif, misalnya produk yang memiliki kadar risiko yang kecil dan tetap mempunyai high return.
4. Menyiapkan Sumber Daya Insani (SDI) yang handal.
5. Memanfaatkan teknologi dan informasi dalam meningkatkan kemampuan dan keahlian SDI maupun hasil produk yang dibuat.
6. Melakukan penyebaran (membuka kantor cabang) atau membuat jaringan dengan lembaga keuangan sejenis atau di bawahnya (Bank Umum Syari’ah dengan BPRS atau dengan BMT atau dengan Koperasi).
7. Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan, seperti universitas atau akademi atau Institute dari luar negeri. Melakukan seminar-seminar , diskusi-diskusi, dan memanfaatkan forum-forum ilmiah, baik melaluli media elektronik maupun cetak.
8. Aktif dalam memberikan masukan atau tanggapan terhadap perumusan regulasi yang sudah ada atau yang akan ada (revisi). Karena seringkali regulasi dijadikan ukuran berdasarkan metode konvensional.
9. Melakukan kerjasama dengan para ulama, cendekiawan, dan tokoh masyarakat yang berpengaruh sebagai upaya pendekatan berdasarakan unsur emosi dan atau rasional.

Minggu, 18 Juli 2010

Mengintip Peluang Obligasi Syariah


Oleh: Iggi H Achsien(Staff Pengajar Jurusan Manajemen FEUI)

Terdapat keterkaitan yang erat dalam upaya pengembangan institusi keuangan syariah. Begitu juga dengan instrumentasi-instrumentasi keuangannya. Satu institusi akan membutuhkan institusi dan instrumen-instrumen lainnya. Ketika bank syariah dikembangkan, muncullah kebutuhan mendesak untuk membuat pasar uang syariah. Pada saat reksadana syariah dimunculkan, perlu instrumen-instrumen halal untuk penyaluran penempatan portfolio-nya Reksadana syariah memerlukan bank syariah, membutuhkan saham halal, dan memunculkan juga kemungkinan peluang obligasi syariah.
Pengembangan institusi dan instrumen keuangan berdasarkan syariah merupakan bagian penting dari upaya pengembangan Islamic finance. Adalah suatu upaya pembumian ajaran langit. Upaya ini tidak lain merupakan kelanjutan pengembangan konsep dan teorinya supaya tidak berhenti hanya pada tataran normatif saja.
Pendekatan yang dapat dilakukan ada dua macam. Pertama, dispilin yang memajukan alternatif-alternatif baru terhadap keuangan komersial konvensional. Di sini dilakukan upaya kreatif penafsiran ajaran agama untuk memajukan alternatif baru yang diyakini dapat memberikan kemanfaatan lebih besar dengan tingkat mudharat yang minimum. Pendekatan yang kedua adalah melakukan reevaluasi konsep dan praktek keuangan konvensional yang ada dengan hukum Islam (fiqh). Dengan mempertanyakan dan menilai apakah konsep dan praktek yang ada tersebut sejalan dengan syariah. Penilaiannya akan jatuh pada penetapan halal, makruh, mubah, sunnah, atau haram. Adalah menarik untuk mempertanyakan obligasi dan options dari perspektif syariah misalnya. Tampaknya sampai sejauh ini, yang nampak lebih dominan adalah pendekatan kedua, meskipun pendekatan pertama juga tidak berhenti dilakukan. Pendirian institusi bank bagi-hasil sebenarnya dapat digolongkan sebagai hasil dari pendekatan pertama. Dalam hal menilai obligasi syariah, kedua pendekatan ini semestinya bisa digunakan.

Apakah Obligasi Syariah?
Obligasi syariah tentunya berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak terdapat konvergensi pendapat bahwa bunga (interest rate) adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini akan minggir dari daftar investasi halal. Karenanya, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah.
Obligasi syariah dikenal juga sebagai muqarada bond, diajukan sebagai alternatif pengganti interest-bearing bonds. Muqarada adalah sinonim dengan qirad yang juga sama dengan mudharaba. Terjemahan sederhanaya adalah pinjaman bagi hasil atau profit-loss sharing. Instrumen keuangan ini sudah mendapatkan pengesahan dari IOC Academy. Artinya sudah dapat cap halal secara internasional.
Muqarada bond dikeluarkan oleh perusahaan (sebagai mudarib, pengelola) kepada investor (sebagai rabb al mal, pemilik dana) dengan tujuan pendanaan proyek tertentu yang dijalankan perusahaan. Proyek ini sifatnya terpisah dengan aktivitas umum perusahaan. Keuntungannya didistribusikan secara periodik berdasarkan persentase tertentu yang telah disepakati. Analoginya seperti kupon obligasi biasa yang dibagikan secara periodik. Tapi kupon ini tidak ditentulkan persentasenya dari depan (fixed pre-determined). Persentasenya merupakan rasio pembagian keuntungan, sehingga meggunakan basis profit-loss sharing. Kontrak seperti ini juga menyediakan pembayaran bond pada saat maturity atau jatuh temponya.
Kontrak seperti ini sesungguhnya sama dengan mudharaba. Dan sudah diterapkan di sejumlah negara seperti Jordania dan Turki. Serupa dengan prinsip Islamic bonds adalah instrumen seperti Islamic certificate of deposits yang dipertimbangkan sebagai medium-term instruments.

Pasar Sekunder untuk Obligasi Syariah
Perdagangan obligasi di pasar sekunder mengemuka kepentingannya karena tujuan likuiditas (as-suyulah). Sebenarnya, hampir semua Islamic bonds dibeli untuk investasi jangka panjang, sampai jatuh tempo atau maturity-nya. Trading tetap terjadi, tapi hanya pada IPO dan saat jatuh tempo dengan harga pada par, sama dengan nominal yang tertera pada sertifikat obligasi (shahdah al-dayn).
Kalaupun terjadi jual beli tidak pada saat jatuh tempo, maka kontrak yang dilakukan adalah bai al-dayn. Bai al dayn didefinisikan sebagai "the sale of a payable right that normally raises from a transaction, services, loan, to the debtor himself, or to any third party" [Rosly dan Moustapha (1999)]. Kebanyakan ulama memfatwakan transaksi ini haram dengan merujuk pada hadits yang diriwayatkan Daruqutni. Hadits yang dimaksud adalah bahwa Ibn Umar berkata, "Nabi saw melarang penjualan hutang dengan hutang yang jumlah pembayarannya berbeda pada waktu yang lain". Karenanya jual beli hutang dipandang sebagai transaksi yang besar unsur riba-nya. Pendapat ini diterima luas, karenanya peluang untuk pasar sekunder obligasi Islami menjadi sangat kecil.
Tetapi terdapat pasar sekunder Islamic bonds di Malaysia. Penerbitan bonds sebagai sertifikat obligasi-nya melalui proses sekuritisasi asset berdasarkan prinsip murabahah bi thaman ajil. Merupakan kontrak penjualan dengan basis penangguhan pembayaran (deffered payment) dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark-up profit. Karena obyek penjualan dalam hukum Islam adalah komoditi yang mempunyai nilai tertentu. Karenanya, sekuritisasi dilakukan untuk membuat surat hutang ini sebagai klaim atas asset yang dijaminkan. Kemudian surat obligasi ini dikeluarkan melalui initial public offering melalui mekanisme lelang atau bidding process (bai al muzayadah) dengan diskon. Penjelasan sahnya mekanisme yang demikian ini diberikan oleh Ngadimon [1999].
Proses ini berbeda dengan muqaradah bonds yang tampaknya tidak bermasalah, juga karena tidak ada pasar sekundernya. Islamic bonds di Malaysia mengundang kontroversi yang besar. Karena pada prinsipnya, pendapatan yang diperoleh dari jual beli hutang adalah riba. Karena hutang tetap hutang, meskipun ditunjang dengan underlying asset-nya. Demikian pendapat sebagian besar ulama. Sami Hasan Houmoud (dalam pointer diskusi menanggapi paper Rosly dan Moustapha [1999], "Bay'an Dayn and Islamic Bonds Issues in Malaysia", pada International Conference Islamic Economics in the 21st century, Kuala Lumpur, 1999) dari IDB mengatakan untuk kasus Malaysia, "It is obvious that what was practiced under the name of Islamic Bonds were not Islamic."
Memang harus terdapat kehati-hatian dalam mengembangkan produk-produk dengan menggunakan label syariah. Karena terbuka peluang dalam prakteknya malah melenceng dari substansi syariah. Dalam simposium ekonomi syariah minggu lalu (3/04/2000), Prof. M.A Manan, ekonom konsultan IDB, memesankan bahwa kalau sebuah lembaga keuangan syariah malah membawa kemudharatan, sebaiknya malah tidak usah membawa-bawa nama syariah. Karena masyarakat akan bisa menilai mana yang sekedar label dan mana yang memang betul-betul Islami. Sesuatu yang bergeser dari kesejahteraan menjadi kesengsaraan tidak ada sangkut pautnya dengan syariah. Yang betul-betul Islami malah bisa saja tidak membawa-bawa label syariah-nya, tetapi pada substansinya tetap berlandaskan syariah.
Suksesnya sebuah pasar keuangan, baik Islami maupun lainnya, akan tergantung pada faktor kepercayaan atas sistem dan proses, keragaman dan kualitas produk, serta keyakinan investor dan emiten untuk menggunakan produk keuangan tersebut. Sebuah framework pengaturan dapat saja didisain untuk mempengaruhi faktor-faktor tersebut.
Dengan kondisi yang telah diuraikan di atas, masa depan obligasi syariah masih boleh dipandang prospektif sejalan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya. Kecil kemungkinan akan adanya pasar sekunder obligasi ini memang bisa menjadi kendala perkembangan, karena investor tetap akan menghendaki likuiditas. Alternatifnya, pasar sekunder tetap bisa ada dengan trading pada par. Atau memperluas jangkauan investor dengan holding period yang sesuai dengan jatuh tempo obligasinya. Sekali lagi, kesuksesannya tetap tergantung pada faktor kepercayaan investor.

Sejarah Asuransi Konvensional Dan Syariah


Oleh: Agus Haryadi

1. Asal-usul Asuransi Konvensional.
Hasil research Mohd. Ma’sum Billah yang dituangkan dalam bukunya Principles & Practice of Takaful and Insurance Compared, menjelaskan tentang asal usul dan perkembangan asuransi konvensional dari buku British Insurance , sebagai berikut: Dalam kehidupan di zaman primitive, kebiasaan hidup saling berdampingan atau bersama-sama dalam suatu komunitas merupakan ciri utama, sehingga kebutuhan dan keperluan hidup mereka secara umum dapat teratasi melalui mekanisme saling menjaga dan saling menolong diantara mereka, oleh karena itu mereka tidak memerlukan asuransi, sejalan dengan perkembangan waktu terjadi urbanisasi (perpindahan ke kota), dimana dalam masyarakat kota seseorang menghadapi berbagai bahaya dan risiko dan susah mendapat bantuan dari keluarga maupun kelompoknya, sehingga dengan perubahan kehidupan diatas membuat mereka mencari beberapa solusi yang dapat membuat kehidupan menjadi aman, atau property mereka terlindungi dari risiko yang tidak diharapkan.
Clayton, menyatakan bahwa ide tentang asuransi tumbuh dan berkembang pada jaman masyarakat babilionia sekitar tahun 3000 SM (sebelum masehi), dimana pada tahun 2500 SM, raja babilonia telah mengumpulkan sekitar 282 klausa yang dikenal dengan kode babilonia (Babylonian code) atau disebut juga kode hammurabi (Hammurabi code). Dari kode tersebut menunjukkan bahwa orang babilionia telah mempraktikkan perjanjian bisnis komersil yang menggunakan uang sebagai transaksi, dimana orang meminjamkan uang kepada pedagang dan mengambil beberapa persen untuk pembayaran bunga/interest. Transaksi diatas yang sekarang dikenal dengan kontrak bottomry (contract of bottomry)
Bottomry diintrodusir oleh pedagang babilon sekitar 4000-3000 SM, dimana uang atau barang dipinjamkan kepada pedagang untuk tujuan perdagangan, atau dapat juga sebagai pinjaman murni dengan membebankan rate tertentu sebagai bunga, atau keduanya, membebankan bunga atas pinjaman uang dan sebagai modal akan mendapatkan bagian keuntungan dari hasil perdagangan.
Dasar traksaksi antara yang meminjamkan uang (lender) dan yang meminjam (borrower) atas dasar saling pengertian, dimana atas pembayaran bunga, peminjam harus dilindungi (dibebaskan) dari kewajibannya bila dalam melakukan perdagangan terjadi kecelakaan atau musibah yang menimpa peminjam. Pembayaran bunga diatas dalam bottomry dapat disamakan dengan premi, dimana peminjam merupakan tertanggung sedangkan yang meminjamkan bertindak sebagai penanggung (asuransi).
Sekitar tahun 1600-1000 SM, praktik dari bottomry contract diadopsi oleh orang Phonesia dan setelah juga dipraktikkan di Yunani pada awal abad ke-4 SM . Dapat disimpulkan bahwa praktik asuransi konvensional sekarang merupakan lanjutan dari praktek bottomry contract di jaman dahulu.

2. Asal-usul Asuransi Syariah
Berbeda dengan sejarah asuransi konvensional, praktik asuransi syariah sekarang berasal dari budaya suku arab sebelum zaman Rasulullah yang disebut dengan aqilah, menurut Thomas Patrick dalam bukunya Dictionary Of Islam, menerangkan bahwa jika salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota suku lain, keluarga korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat pembunuh tersebut yang disebut aqilah, harus membayar uang darah atas nama pembunuh. Praktik aqilah pada zaman Rasulullah tetap diterima dan menjadi bagian dari Hukum Islam, hal tersebut dapat dilihat dari hadist Nabi Muhammad SAW: “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut tersebut kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki).” (HR. Bukhari)
Selain hadist diatas, ada pasal khusus dalam konstitusi Madinah yang memuat semangat untuk saling menanggung bersama, yaitu pasal 3 yang isinya sebagai berikut: “Orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah di antara mereka.” Aqilah merupakan praktik yang biasa terjadi pada suku Arab kuno. Jika seorang anggota suku melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain, maka ahli waris korban akan memperoleh bayaran sejumlah uang darah sebagai kompensasi oleh penutupan keluarga pembunuh. Penutupan yang dilakukan oleh keluarga pembunuh itulah yang disebut sebagai aqilah.
Pada tahap selanjutnya, perkembangan asuransi syariah selain mengembangkan praktik tolong menolong melalui dana tabarru’ juga memasukan unsur investasi (khususnya pada asuransi jiwa) baik denga akad bagi hasil (mudharabah) maupun fee (wakalah).

Asuransi Dalam Tinjauan Fiqih

Ingin mengetahui bagaimana Asuransi dalam tinjauan Fiqih, silahkan download di bawah ini:


Idealitas Dan Realitas Pasar Modal Islami


Tulisan Ahmad Rodoni, Menguji Konsep Pasar Modal Yang Islami (Republika, 17 Maret 2003) menarik untuk disimak oleh siapapun, dari pelaku hingga pemerhati pasar modal. Tulisan tersebut sangat kritis dan tepat momentumnya, karena pada tanggal 14 Maret 2003 telah diluncurkan pasar modal syariah.

Setidaknya terdapat tiga poin penting yang disampaikan Ahmad Rodoni sehubungan dengan akan diselenggarakannya Pasar Modal Syariah. Pertama, produk-produk yang dihasilkan perusahaan-perusahaan yang dikategorikan JII (Jakarta Islamic Index) menggunakan konsep syariah tidak dapat dikatakan halal dan memberikan banyak manfaat.

Perlu ditinjau struktur modal perusahaan-perusahaan tersebut, baik utang maupun modalnya, apakah sudah sesuai dengan syariah Islam.Kedua, jika kita ingin menerapkan pasar modal syariah, maka diperlukan lembaga-lembaga dan profesi penunjang pasar modal yang Islami.

Yang termasuk dalam kategori lembaga dan profesi penunjang pasar modal ini antara lain Biro Administrasi Efek (BAE), bank kustodian, wali amanat, lembaga pemeringkat, akuntan publik, konsultan hukum, penilai, notaris, pialang dan sebagainya.
Ketiga, tinjauan pasar modal menurut Islam sangat sesuai dengan hipotesis pasar yang efisien.

Dengan kata lain pasar modal yang tidak efisien kurang sesuai dengan konsep Islam. Diharapkan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang berperan mengawasi aspek syariah pasar modal mengerti seluk beluk struktur keuangan perusahaan maupun aspek lainnya, untuk mewujudkan pasar modal yang efisien tersebut.

Baru Langkah Awal
Terwujudnya pasar modal syariah yang semua emiten dan produknya sesuai konsep syariah, efisien dan didukung oleh lembaga/ profesi penunjang pasar modal yang Islami tentu merupakan harapan sebagian besar pelaku ekonomi syariah. Namun seringkali idealitas harus menghadapi realitas yang berbeda. Das sollen seringkali belum sesuai dengan das sain.

Tentu saja di sini tidak ingin dikatakan bahwa pasar modal syariah dapat mentoleransiberbagai konsep progresif-liberal yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena dengan pengabaian terhadap prinsip-prinsip syariah justru menjadikan pasar modal syariah tidak mempunyai distinctive point yang jelas dibanding pasar modal nonsyariah (konvensional).

Persoalan bagaimana praktek keuangan syariah dapat dijalankan sesuai dengan konsep Islam, memang terus bergulir. Tidak hanya pada pasar modal syariah, pada awal perkembangan (bahkan hingga kini) perbankan syariahpun, persoalan praktek-praktek transaksi keuangan terus menjadi wacana di kalangan pemerhati dan pelaku ekonomi syariah.

Namun, karena adanya keberanian untuk terus menumbuhkembangkan perbankan syariah di tengah banyaknya nada sumbang serta apresiasi pasar yang cukup baik menjadikan keberadaan bank syariah di tanah air semakin mapan.

Hal yang sama bukannya tidak mungkin akan dirasakan oleh pasar modal syariah. Yang perlu diingat bahwa terdapat praktek bisnis yang berbeda dengan kondisi sebelumnya (praktek ekonomi konvensional) tidak dapat dipungkiri.

Gugatan bahwa produk perusahaan yang tercatat dalam JII tidak dapat dikatakan halal dan memberi manfaat banyak, dalam tataran tertentu cukup beralasan. Namun bahwa produk ini ''lebih baik'' bagi para investor muslim (atau siapapun yang peduli terhadap perbedaan produk maslahat dan produk mudharat) dibanding yang tidak dikategorikan JII perlu diapresiasi.

Kalaupun dalam struktur modal perusahaan penghasil produk yang dikategorikan JII terdapat debt/ equity yang belum sesuai dengan syariah, ini merupakan tugas kolektif pelaku ekonomi syariah untuk melakukan edukasi dan introduksi pasar.

Untuk masuk sebagai perusahaan yang terdaftar di bursapun tentu terdapat entry barrier (hambatan masuk). Apabila entry barrier itu kita tambah dengan mensyaratkan struktur keuangan yang bebas dari sumber-sumber ribawi, berapa banyakkah perusahaan yang dapat listed<> di bursa?

Bukankah pangsa pembiayaan (kredit) bank syariah saat ini masih di bawah satu persen dari total kredit perbankan nasional? Atau dengan kata lain, pinjaman yang dinikmati perusahaan-perusahaan di Indonesia 99 persen bersumber dari pinjaman ribawi.

Bila sebagian besar perusahaan mempunyai utang dari lembaga keuangan nonsyariah, berapa banyakkah perusahaan yang mampu terdaftar di pasar modal syariah kelak?

Dengan masuknya perusahaan-perusahaan dalam JII, konsep dan praktik ekonomi syariah akan semakin tumbuh. Begitu pula kesadaran para pemodal (investor) untuk bertransaksi secara Islami (dan mengeliminasi atau setidaknya mengurangi transaksi ribawi).

Dan bukannya tidak mungkin akan terjadi reformasi struktur modal perusahaan-perusahaan yang terdaftar di pasar modal syariah setelah mengetahui ''keunggulan'' konsep syariah.

Haruskah pasar modal syariah didukung oleh lembaga dan profesi pendukung pasar modal yang Islami? Tentu saja jawabnya adalah ya. Konsep ekonomi syariah akan mewujud menjadi praktek ekonomi yang Islami, bila semua pelaku ekonomi syariah meyakini dan mempraktikkan ekonomi syariah itu sendiri. Namun bila belum semua pelaku tersebut Islami, tentu optimisme terciptanya ekonomi syariah tidak boleh terkubur.

Chapra (2000) dalam bukunya, The Future of Economics - An Islamic Perspective mengutip pendapat Barraclough yang memberikan komentar tentang perbankan Islam, bahwa apabila perbankan Islam tidak dapat ''mengembangkan berbagai jenis produk dan menjadi terintegrasi ke dalam sistem keuangan dunia dia menghadapi risiko termarginalisasi''.

Council of Islamic Ideology (Pakistan) menekankan bahwa penghapusan bunga hanya merupakan sebagian dari keseluruhan sistem nilai Islam dan langkah ini saja tidak dapat diharapkan mengubah keseluruhan sistem ekonomi Islam sesuai dengan visi Islam.

Karena reformasi memerlukan waktu untuk mengimplementasikan, praktis semua penulis, termasuk sejumlah ulama terkemuka, lebih menyukai pendekatan bertahap menuju penghapusan bunga. Agaknya model inilah (pengembangan secara gradual) yang saat ini juga dibutuhkan bagi pengembangan pasar modal syariah di Indonesia.

Apakah pasar modal syariah akan menjamin terwujudnya pasar modal yang efisien (harga sekuritas merefleksikan semua informasi yang tersedia), baik itu efisien bentuk lemah (weak form efficiency), efisien bentuk setengah kuat (semi strong form efficiency) ataupun efisien bentuk kuat (strong form efficiency)?

Secara konsepsional, pasar modal bisa dikatakan Islami bila praktik-praktik transaksinya sesuai dengan rambu-rambu Islam. Rambu-rambu Islam dalam praktek muamalah antara lain; carilah yang halal lagi baik, tidak bathil, tidak melampaui batas, tidak zhalim, tidak makan riba, tidak melakukan maisir (spekulasi/ judi), dan tidak gharar (manipulatif).

Kenyataanya, rambu-rambu ini justru banyak dilanggar para pelaku pasar modal. Bahkan diyakini bahwa pasar modal akan hidup dan likuid bila 80 persen pelaku bermain secara spekulatif.

Bapepam dalam siaran persnya pada tanggal 27 Desember 2002 mencatat bahwa sepanjang tahun 2002 telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang cukup banyak.

Tidak kurang terdapat delapan perusahaan efek dan dua wakil perusahaan efek yang dicabut izin usahanya. Sedang yang dibekukan usahanya meliputi 29 perusahaan efek, empat wakil perusahaan efek dan empat akuntan publik.

Di samping itu terdapat 186 emiten, 31 perusahaan efek, dua BAE, satu bank kustodian, satu wali amanat, delapan wakil perusahaan efek, satu akuntan publik, satu penilai dan 15 pihak lain termasuk direksi dan komisaris emiten yang dikenai sanksi administrative berupa denda.

Belum lagi terdapat 36 pelaku bursa yang mendapat sanksi administratif berupa peringatan tertulis. Kenyataan ini meyakinkan kita bahwa dimensi spiritualitas masih merupakan persoalan mendasar bagi para pelaku bursa.

Bila rambu-rambu Islam ditaati oleh para pelaku pasar modal tentu saja pasar yang efisien akan lebih mudah diwujudkan, mengingat transparansi merupakan tuntutan ekonomi Islam.

Tetapi jangan sampai kita terjebak bahwa setelah pasar modal syariah benar-benar dijalankan dan ternyata berdasar riset diketahui bahwa pasar yang efisien baik dalam bentuk lemah, setengah kuat dan kuat tidak terwujud terus menghasilkan konklusi bahwa pasar modal syariah dan nonsyariah (konvensional) sama saja.

Bisa saja abnormal return (tingkat keuntungan yang sesungguhnya lebih besar dibanding tingkat keuntungan seharusnya-yang idealnya tidak terjadi dalam pasar yang efisien) tetap dinikmati oleh investor tertentu yang dapat memperoleh informasi lebih awal dan lebih valid.

Sebaliknya, bukannya tidak mungkin pasar modal yang didesain tidak secara syariah dapat memenuhi kriteria efisien. Penelitian efisiensi pasar telah banyak dilakukan di pasar modal konvensional. Sebagai contoh, perilaku harga saham di pasar perdana atau disebut Initial Public Offering (IPO) sering diteliti untuk melihat apakah pasar modal tersebut efisien ataukah tidak.

Penelitian empiris di Amerika Serikat oleh Ritter (1984) menunjukkan bahwa penerbitan saham perdana menunjukkan underwriting 18,8 persen. Hal yang sama juga dijumpai oleh Rock (1986).

Husnan dan Mamduh (1991) menyebutkan bahwa penelitian-penelitian tentang first issues umumnya menunjukkan, bahwa sehari setelah saham-saham diperdagangkan di pasar sekunder, para pemodal tidak lagi bisa memperoleh abnormal return. Hal ini konsisten dengan hipotesa pasar yang efisien.

Memelihara optimisme
Keberadaan pasar modal syariah akan semakin meramaikan kegiatan ekonomi syariah, terlepas dari perdebatan yang akan muncul.

Bapepam sebagai pihak yang paling mempunyai otoritas untuk mendesain pasar modal di Indonesia sudah seharusnya membuat Cetak Biru Pasar Modal Syariah, sebagaimana Bank Indonesia telah merampungkan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia.

Dengan adanya pasar modal syariah, masyarakat akan semakin mempunyai instrumen investasi yang paling sesuai, tidak hanya instrumen investasi yang dapat menjanjikan keuntungan secara rasional, melainkan juga emotional benefit (keuntungan emosional).

JII yang sementara baru melihat produk perusahaan sebagai syarat masuknya emiten ke dalamnya, bagaimanapun merupakan langkah maju yang perlu didukung. Pasar modal syariah yang atraktif akan membuat semakin banyak pemodal dan pialang yang aktif, sehingga pasar diharapkan akan semakin efisien.

Hal ini sejalan dengan pendapat Foster (1986) bahwa efisiensi akan tercapai bila terdapat banyak analis sekuritas dan terjadi persaingan antaranalis, karena penyebaran informasi yang benar akan semakin cepat dan akurat.

Esensi Asuransi Islam


Oleh : Bey Sapta Utama (Staf Pengajar STEI Tazkia)

Bagi setiap muslim sesungguhnya hidup dan mati hanya untuk Sang Pencipta Allah SWT semata-mata. Dalam tekad itu terkandung konsekuensi, setiap muslim harus berislam bukan hanya di masjid dan mushallah, ketika shalat, puasa, zakat dan berhaji saja, akan tetapi juga ketika ia berada di pasar, bank dan perkantoran. Ketika ia sedang bertransaksi, berinvestasi di pasar modal, dan juga ketika berasuransi.

Semangat itu pula yang mestinya menjiwai semarak kebangkitan ekonomi Islam di dunia. Di Indonesia sendiri, sejak sistem bank tanpa bunga di perkenalkan melalui UU No 7 1992 tentang Perbankan, yang dipertegas dengan diakuinya dual banking system, perbankan syariah tumbuh dengan cepat dalam tiga tahun terakhir. Data–data menunjukkan pangsa total aktiva perbankkan naik dari dari 0,11 persen pada 1999 menjadi 0,33 persen pada 2001. Dana pihak ketiga naik dari 0,07 persen menjadi 0,3 persen pada kurun waktu sama, dan kantor juga semakin meluas menjangkau 29 kota di pulau Jawa, Sumatera , Sulawesi dan Kalimantan.

Di bidang asuransi, perkembangan yang sama pun terjadi . Saat ini, perusahaan asuransi yang benar- benar secara penuh beroperasi secara syariah ada tiga, yakni Asuransi Takaful Umum, Asuransi Takaful Keluarga ( jiwa ), dan Mubarakah. Selain itu beberapa perusahaan asuransi konvensional telah membuka divisi syariah yakni MAA, Great Eastern, Bumiputera (asuransi jiwa ), dan Tripakarta. Data Departemen Keuangan menunjukkan, market share asuransi syariah pada tahun 2001 baru mencapai 0,3 persen dari total premi asuransi nasional. Perkembangan ke depan diperkirakan akan lebih marak lagi mengingat kondisi dakwah Islam yang semakin luas cakupannya, sehingga meningkatkan awareness masyarakat. Di samping itu beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan asuransi syariah adalah ditetapkannya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syariah . Di bidang aturan hukum, saat ini sedang digodog aturan khusus mengenai asuransi syariah yang diharapkan dapat memberi dampak yang signifikan sebagaimana dampak dari UU Perbankan tahun 1998.

Berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidup yang berdasarkan tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap diri tidak memiliki daya apapun ketika datang musibah dari Allah SWT, apakah itu berupa kecelakaan, kematian, atau terbakarnya toko yang kita miliki.
Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing).

Menarik untuk direnungi bahwa sejak dari awal keberadaannya, mekanisme asuransi Islam senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan kelompok. Sekalipun, misalnya, musibah itu hanya menimpa individu tertentu (particular risks). Apalagi apabila musibah itu mengenai masyarakat luas (fundamental risks) seperti gempa bumi dan banjir. Sesungguhnya Allah SWT sudah menegaskan hal ini dalam beberapa firmanNya di dalam Alquran, antara lain dalam surat al Maidah ayat 2, dan al Baqarah ayat 177. Demikian pula janji Allah untuk senantiasa “menyediakan makanan dan menyelamatkan dari ketakutan” (Q.S. Quraisy: 4) seringkali kita rasakan melalui tangan orang lain yang digerakkan Allah untuk membantu kita dalam rangka memenuhi janjiNya tersebut. Banyak pula hadis Rasulullah SAW yang menyuruh umat Islam saling melindungi dalam menghadapi kesusahan.

Berdasarkan ayat Alquran dan hadis di atas, sesungguhnya musibah, ataupun risiko kerugian akibat musibah, wajib ditanggung bersama (risk sharing). Jadi, bukan setiap individu menanggung sendiri-sendiri (risk retention), bukan pula dialihkan ke pihak lain (risk transfer). Risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility), yang bisa disingkat dengan prinsip CPM.

Jelas berbeda dengan apa yang berlangsung di asuransi konvensional. Di sana yang terjadi adalah transfer risiko. Anda membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu anda pikul kepada perusahaan asuransi. Di sini terjadi ‘jual beli’, dengan komoditasnya adalah risiko kerugian, yang belum pasti terjadi. Di sinilah ‘cacat’ dari perjanjian asuransi konvensional, jika dilihat dari sudut pandang Islam. Teori akad dalam Islam mensyaratkan adanya komoditas (objek akad) yang pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa. Cacat ini diperburuk lagi dengan kondisi bahwa uang premi akan hangus apabila kerugian tidak terjadi, sebaliknya akan berjumlah berlipat-lipat kali manakala dibayarkan sebagai ganti rugi apabila risiko yang dipertanggungkan terjadi.

Memang, tertanggung tidak akan mendapat keuntungan dari sini karena prinsip ganti rugi dalam asuransi sudah mengatur bahwa ganti rugi tidak mungkin akan memberikan lebih dari jumlah kerugian yang diderita. Akan tetapi mekanisme transfer risiko seperti ini memungkinkan adanya ketidakseimbangan kekuatan dalam menjalankan perjanjian asuransi yang telah disepakati. Pada tataran yang paling sederhana, misalnya, ketika perusahaan asuransi mensyaratkan tertanggung untuk melakukan hal yang terbaik untuk mencegah terjadinya kerugian, antara lain dengan melakukan manajemen risiko secara ketat, di pihak lain tertanggung merasa tidak perlu melakukannya karena sudah mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi. Pada tataran yang lebih kompleks, bisa saja terjadi kecurangan-kecurangan dalam pengajuan klaim, baik berupa klaim palsu (fraudulent claim) maupun pengajuan nilai klaim yang lebih besar dari sebenarnya.

Dalam risk sharing yang dianjurkan dalam Islam, moral hazard seperti yang dimungkinkan dalam asuransi konvensional. InsyaAllah tidak akan terjadi karena setiap individu sejatinya menjadi penanggung bagi semua peserta. Dana yang terhimpun (pool of funds) selain digunakan untuk menyantuni peserta yang menderita kerugian, juga akan diinvestasikan (tentunya menurut kaidah investasi Islam), dan hasilnya akan dibagikan kembali kepada peserta sesuai prinsip mudharabah.

Hasil itu akan negatif apabila risiko yang dihimpun tidak dikelola dengan baik, sehingga jumlah klaim besar. Akibatnya peserta kehilangan kesempatan untuk memperoleh bagi hasil. Mekanisme ini dengan sendirinya mendorong setiap peserta untuk melakukan pencegahan risiko dan mengelola risiko masing-masing dengan baik. Fraudulent claim pun sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Bukan saja karena ada dimensi moral dan etik yang inheren terdapat di dalamnya, namun juga karena mekanisme risk sharing itu sendiri yang dikaitkan dengan prinsip mudharabah, membuat orang secara sadar tercegah dari hal-hal yang buruk. Wallahu a’lam bis-Shawab.