Tulisan Ahmad Rodoni, Menguji Konsep Pasar Modal Yang Islami (Republika, 17 Maret 2003) menarik untuk disimak oleh siapapun, dari pelaku hingga pemerhati pasar modal. Tulisan tersebut sangat kritis dan tepat momentumnya, karena pada tanggal 14 Maret 2003 telah diluncurkan pasar modal syariah.
Setidaknya terdapat tiga poin penting yang disampaikan Ahmad Rodoni sehubungan dengan akan diselenggarakannya Pasar Modal Syariah. Pertama, produk-produk yang dihasilkan perusahaan-perusahaan yang dikategorikan JII (Jakarta Islamic Index) menggunakan konsep syariah tidak dapat dikatakan halal dan memberikan banyak manfaat.
Perlu ditinjau struktur modal perusahaan-perusahaan tersebut, baik utang maupun modalnya, apakah sudah sesuai dengan syariah Islam.Kedua, jika kita ingin menerapkan pasar modal syariah, maka diperlukan lembaga-lembaga dan profesi penunjang pasar modal yang Islami.
Yang termasuk dalam kategori lembaga dan profesi penunjang pasar modal ini antara lain Biro Administrasi Efek (BAE), bank kustodian, wali amanat, lembaga pemeringkat, akuntan publik, konsultan hukum, penilai, notaris, pialang dan sebagainya.
Ketiga, tinjauan pasar modal menurut Islam sangat sesuai dengan hipotesis pasar yang efisien.
Dengan kata lain pasar modal yang tidak efisien kurang sesuai dengan konsep Islam. Diharapkan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang berperan mengawasi aspek syariah pasar modal mengerti seluk beluk struktur keuangan perusahaan maupun aspek lainnya, untuk mewujudkan pasar modal yang efisien tersebut.
Baru Langkah Awal
Terwujudnya pasar modal syariah yang semua emiten dan produknya sesuai konsep syariah, efisien dan didukung oleh lembaga/ profesi penunjang pasar modal yang Islami tentu merupakan harapan sebagian besar pelaku ekonomi syariah. Namun seringkali idealitas harus menghadapi realitas yang berbeda. Das sollen seringkali belum sesuai dengan das sain.
Tentu saja di sini tidak ingin dikatakan bahwa pasar modal syariah dapat mentoleransiberbagai konsep progresif-liberal yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena dengan pengabaian terhadap prinsip-prinsip syariah justru menjadikan pasar modal syariah tidak mempunyai distinctive point yang jelas dibanding pasar modal nonsyariah (konvensional).
Persoalan bagaimana praktek keuangan syariah dapat dijalankan sesuai dengan konsep Islam, memang terus bergulir. Tidak hanya pada pasar modal syariah, pada awal perkembangan (bahkan hingga kini) perbankan syariahpun, persoalan praktek-praktek transaksi keuangan terus menjadi wacana di kalangan pemerhati dan pelaku ekonomi syariah.
Namun, karena adanya keberanian untuk terus menumbuhkembangkan perbankan syariah di tengah banyaknya nada sumbang serta apresiasi pasar yang cukup baik menjadikan keberadaan bank syariah di tanah air semakin mapan.
Hal yang sama bukannya tidak mungkin akan dirasakan oleh pasar modal syariah. Yang perlu diingat bahwa terdapat praktek bisnis yang berbeda dengan kondisi sebelumnya (praktek ekonomi konvensional) tidak dapat dipungkiri.
Gugatan bahwa produk perusahaan yang tercatat dalam JII tidak dapat dikatakan halal dan memberi manfaat banyak, dalam tataran tertentu cukup beralasan. Namun bahwa produk ini ''lebih baik'' bagi para investor muslim (atau siapapun yang peduli terhadap perbedaan produk maslahat dan produk mudharat) dibanding yang tidak dikategorikan JII perlu diapresiasi.
Kalaupun dalam struktur modal perusahaan penghasil produk yang dikategorikan JII terdapat debt/ equity yang belum sesuai dengan syariah, ini merupakan tugas kolektif pelaku ekonomi syariah untuk melakukan edukasi dan introduksi pasar.
Untuk masuk sebagai perusahaan yang terdaftar di bursapun tentu terdapat entry barrier (hambatan masuk). Apabila entry barrier itu kita tambah dengan mensyaratkan struktur keuangan yang bebas dari sumber-sumber ribawi, berapa banyakkah perusahaan yang dapat listed<> di bursa?
Bukankah pangsa pembiayaan (kredit) bank syariah saat ini masih di bawah satu persen dari total kredit perbankan nasional? Atau dengan kata lain, pinjaman yang dinikmati perusahaan-perusahaan di Indonesia 99 persen bersumber dari pinjaman ribawi.
Bila sebagian besar perusahaan mempunyai utang dari lembaga keuangan nonsyariah, berapa banyakkah perusahaan yang mampu terdaftar di pasar modal syariah kelak?
Dengan masuknya perusahaan-perusahaan dalam JII, konsep dan praktik ekonomi syariah akan semakin tumbuh. Begitu pula kesadaran para pemodal (investor) untuk bertransaksi secara Islami (dan mengeliminasi atau setidaknya mengurangi transaksi ribawi).
Dan bukannya tidak mungkin akan terjadi reformasi struktur modal perusahaan-perusahaan yang terdaftar di pasar modal syariah setelah mengetahui ''keunggulan'' konsep syariah.
Haruskah pasar modal syariah didukung oleh lembaga dan profesi pendukung pasar modal yang Islami? Tentu saja jawabnya adalah ya. Konsep ekonomi syariah akan mewujud menjadi praktek ekonomi yang Islami, bila semua pelaku ekonomi syariah meyakini dan mempraktikkan ekonomi syariah itu sendiri. Namun bila belum semua pelaku tersebut Islami, tentu optimisme terciptanya ekonomi syariah tidak boleh terkubur.
Chapra (2000) dalam bukunya, The Future of Economics - An Islamic Perspective mengutip pendapat Barraclough yang memberikan komentar tentang perbankan Islam, bahwa apabila perbankan Islam tidak dapat ''mengembangkan berbagai jenis produk dan menjadi terintegrasi ke dalam sistem keuangan dunia dia menghadapi risiko termarginalisasi''.
Council of Islamic Ideology (Pakistan) menekankan bahwa penghapusan bunga hanya merupakan sebagian dari keseluruhan sistem nilai Islam dan langkah ini saja tidak dapat diharapkan mengubah keseluruhan sistem ekonomi Islam sesuai dengan visi Islam.
Karena reformasi memerlukan waktu untuk mengimplementasikan, praktis semua penulis, termasuk sejumlah ulama terkemuka, lebih menyukai pendekatan bertahap menuju penghapusan bunga. Agaknya model inilah (pengembangan secara gradual) yang saat ini juga dibutuhkan bagi pengembangan pasar modal syariah di Indonesia.
Apakah pasar modal syariah akan menjamin terwujudnya pasar modal yang efisien (harga sekuritas merefleksikan semua informasi yang tersedia), baik itu efisien bentuk lemah (weak form efficiency), efisien bentuk setengah kuat (semi strong form efficiency) ataupun efisien bentuk kuat (strong form efficiency)?
Secara konsepsional, pasar modal bisa dikatakan Islami bila praktik-praktik transaksinya sesuai dengan rambu-rambu Islam. Rambu-rambu Islam dalam praktek muamalah antara lain; carilah yang halal lagi baik, tidak bathil, tidak melampaui batas, tidak zhalim, tidak makan riba, tidak melakukan maisir (spekulasi/ judi), dan tidak gharar (manipulatif).
Kenyataanya, rambu-rambu ini justru banyak dilanggar para pelaku pasar modal. Bahkan diyakini bahwa pasar modal akan hidup dan likuid bila 80 persen pelaku bermain secara spekulatif.
Bapepam dalam siaran persnya pada tanggal 27 Desember 2002 mencatat bahwa sepanjang tahun 2002 telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang cukup banyak.
Tidak kurang terdapat delapan perusahaan efek dan dua wakil perusahaan efek yang dicabut izin usahanya. Sedang yang dibekukan usahanya meliputi 29 perusahaan efek, empat wakil perusahaan efek dan empat akuntan publik.
Di samping itu terdapat 186 emiten, 31 perusahaan efek, dua BAE, satu bank kustodian, satu wali amanat, delapan wakil perusahaan efek, satu akuntan publik, satu penilai dan 15 pihak lain termasuk direksi dan komisaris emiten yang dikenai sanksi administrative berupa denda.
Belum lagi terdapat 36 pelaku bursa yang mendapat sanksi administratif berupa peringatan tertulis. Kenyataan ini meyakinkan kita bahwa dimensi spiritualitas masih merupakan persoalan mendasar bagi para pelaku bursa.
Bila rambu-rambu Islam ditaati oleh para pelaku pasar modal tentu saja pasar yang efisien akan lebih mudah diwujudkan, mengingat transparansi merupakan tuntutan ekonomi Islam.
Tetapi jangan sampai kita terjebak bahwa setelah pasar modal syariah benar-benar dijalankan dan ternyata berdasar riset diketahui bahwa pasar yang efisien baik dalam bentuk lemah, setengah kuat dan kuat tidak terwujud terus menghasilkan konklusi bahwa pasar modal syariah dan nonsyariah (konvensional) sama saja.
Bisa saja abnormal return (tingkat keuntungan yang sesungguhnya lebih besar dibanding tingkat keuntungan seharusnya-yang idealnya tidak terjadi dalam pasar yang efisien) tetap dinikmati oleh investor tertentu yang dapat memperoleh informasi lebih awal dan lebih valid.
Sebaliknya, bukannya tidak mungkin pasar modal yang didesain tidak secara syariah dapat memenuhi kriteria efisien. Penelitian efisiensi pasar telah banyak dilakukan di pasar modal konvensional. Sebagai contoh, perilaku harga saham di pasar perdana atau disebut Initial Public Offering (IPO) sering diteliti untuk melihat apakah pasar modal tersebut efisien ataukah tidak.
Penelitian empiris di Amerika Serikat oleh Ritter (1984) menunjukkan bahwa penerbitan saham perdana menunjukkan underwriting 18,8 persen. Hal yang sama juga dijumpai oleh Rock (1986).
Husnan dan Mamduh (1991) menyebutkan bahwa penelitian-penelitian tentang first issues umumnya menunjukkan, bahwa sehari setelah saham-saham diperdagangkan di pasar sekunder, para pemodal tidak lagi bisa memperoleh abnormal return. Hal ini konsisten dengan hipotesa pasar yang efisien.
Memelihara optimisme
Keberadaan pasar modal syariah akan semakin meramaikan kegiatan ekonomi syariah, terlepas dari perdebatan yang akan muncul.
Bapepam sebagai pihak yang paling mempunyai otoritas untuk mendesain pasar modal di Indonesia sudah seharusnya membuat Cetak Biru Pasar Modal Syariah, sebagaimana Bank Indonesia telah merampungkan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia.
Dengan adanya pasar modal syariah, masyarakat akan semakin mempunyai instrumen investasi yang paling sesuai, tidak hanya instrumen investasi yang dapat menjanjikan keuntungan secara rasional, melainkan juga emotional benefit (keuntungan emosional).
JII yang sementara baru melihat produk perusahaan sebagai syarat masuknya emiten ke dalamnya, bagaimanapun merupakan langkah maju yang perlu didukung. Pasar modal syariah yang atraktif akan membuat semakin banyak pemodal dan pialang yang aktif, sehingga pasar diharapkan akan semakin efisien.
Hal ini sejalan dengan pendapat Foster (1986) bahwa efisiensi akan tercapai bila terdapat banyak analis sekuritas dan terjadi persaingan antaranalis, karena penyebaran informasi yang benar akan semakin cepat dan akurat.
No Response to "Idealitas Dan Realitas Pasar Modal Islami"
Posting Komentar