Oleh : Bey Sapta Utama (Staf Pengajar STEI Tazkia)
Bagi setiap muslim sesungguhnya hidup dan mati hanya untuk Sang Pencipta Allah SWT semata-mata. Dalam tekad itu terkandung konsekuensi, setiap muslim harus berislam bukan hanya di masjid dan mushallah, ketika shalat, puasa, zakat dan berhaji saja, akan tetapi juga ketika ia berada di pasar, bank dan perkantoran. Ketika ia sedang bertransaksi, berinvestasi di pasar modal, dan juga ketika berasuransi.
Semangat itu pula yang mestinya menjiwai semarak kebangkitan ekonomi Islam di dunia. Di Indonesia sendiri, sejak sistem bank tanpa bunga di perkenalkan melalui UU No 7 1992 tentang Perbankan, yang dipertegas dengan diakuinya dual banking system, perbankan syariah tumbuh dengan cepat dalam tiga tahun terakhir. Data–data menunjukkan pangsa total aktiva perbankkan naik dari dari 0,11 persen pada 1999 menjadi 0,33 persen pada 2001. Dana pihak ketiga naik dari 0,07 persen menjadi 0,3 persen pada kurun waktu sama, dan kantor juga semakin meluas menjangkau 29 kota di pulau Jawa, Sumatera , Sulawesi dan Kalimantan.
Di bidang asuransi, perkembangan yang sama pun terjadi . Saat ini, perusahaan asuransi yang benar- benar secara penuh beroperasi secara syariah ada tiga, yakni Asuransi Takaful Umum, Asuransi Takaful Keluarga ( jiwa ), dan Mubarakah. Selain itu beberapa perusahaan asuransi konvensional telah membuka divisi syariah yakni MAA, Great Eastern, Bumiputera (asuransi jiwa ), dan Tripakarta. Data Departemen Keuangan menunjukkan, market share asuransi syariah pada tahun 2001 baru mencapai 0,3 persen dari total premi asuransi nasional. Perkembangan ke depan diperkirakan akan lebih marak lagi mengingat kondisi dakwah Islam yang semakin luas cakupannya, sehingga meningkatkan awareness masyarakat. Di samping itu beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan asuransi syariah adalah ditetapkannya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syariah . Di bidang aturan hukum, saat ini sedang digodog aturan khusus mengenai asuransi syariah yang diharapkan dapat memberi dampak yang signifikan sebagaimana dampak dari UU Perbankan tahun 1998.
Berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidup yang berdasarkan tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap diri tidak memiliki daya apapun ketika datang musibah dari Allah SWT, apakah itu berupa kecelakaan, kematian, atau terbakarnya toko yang kita miliki.
Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing).
Menarik untuk direnungi bahwa sejak dari awal keberadaannya, mekanisme asuransi Islam senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan kelompok. Sekalipun, misalnya, musibah itu hanya menimpa individu tertentu (particular risks). Apalagi apabila musibah itu mengenai masyarakat luas (fundamental risks) seperti gempa bumi dan banjir. Sesungguhnya Allah SWT sudah menegaskan hal ini dalam beberapa firmanNya di dalam Alquran, antara lain dalam surat al Maidah ayat 2, dan al Baqarah ayat 177. Demikian pula janji Allah untuk senantiasa “menyediakan makanan dan menyelamatkan dari ketakutan” (Q.S. Quraisy: 4) seringkali kita rasakan melalui tangan orang lain yang digerakkan Allah untuk membantu kita dalam rangka memenuhi janjiNya tersebut. Banyak pula hadis Rasulullah SAW yang menyuruh umat Islam saling melindungi dalam menghadapi kesusahan.
Berdasarkan ayat Alquran dan hadis di atas, sesungguhnya musibah, ataupun risiko kerugian akibat musibah, wajib ditanggung bersama (risk sharing). Jadi, bukan setiap individu menanggung sendiri-sendiri (risk retention), bukan pula dialihkan ke pihak lain (risk transfer). Risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility), yang bisa disingkat dengan prinsip CPM.
Jelas berbeda dengan apa yang berlangsung di asuransi konvensional. Di sana yang terjadi adalah transfer risiko. Anda membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu anda pikul kepada perusahaan asuransi. Di sini terjadi ‘jual beli’, dengan komoditasnya adalah risiko kerugian, yang belum pasti terjadi. Di sinilah ‘cacat’ dari perjanjian asuransi konvensional, jika dilihat dari sudut pandang Islam. Teori akad dalam Islam mensyaratkan adanya komoditas (objek akad) yang pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa. Cacat ini diperburuk lagi dengan kondisi bahwa uang premi akan hangus apabila kerugian tidak terjadi, sebaliknya akan berjumlah berlipat-lipat kali manakala dibayarkan sebagai ganti rugi apabila risiko yang dipertanggungkan terjadi.
Memang, tertanggung tidak akan mendapat keuntungan dari sini karena prinsip ganti rugi dalam asuransi sudah mengatur bahwa ganti rugi tidak mungkin akan memberikan lebih dari jumlah kerugian yang diderita. Akan tetapi mekanisme transfer risiko seperti ini memungkinkan adanya ketidakseimbangan kekuatan dalam menjalankan perjanjian asuransi yang telah disepakati. Pada tataran yang paling sederhana, misalnya, ketika perusahaan asuransi mensyaratkan tertanggung untuk melakukan hal yang terbaik untuk mencegah terjadinya kerugian, antara lain dengan melakukan manajemen risiko secara ketat, di pihak lain tertanggung merasa tidak perlu melakukannya karena sudah mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi. Pada tataran yang lebih kompleks, bisa saja terjadi kecurangan-kecurangan dalam pengajuan klaim, baik berupa klaim palsu (fraudulent claim) maupun pengajuan nilai klaim yang lebih besar dari sebenarnya.
Dalam risk sharing yang dianjurkan dalam Islam, moral hazard seperti yang dimungkinkan dalam asuransi konvensional. InsyaAllah tidak akan terjadi karena setiap individu sejatinya menjadi penanggung bagi semua peserta. Dana yang terhimpun (pool of funds) selain digunakan untuk menyantuni peserta yang menderita kerugian, juga akan diinvestasikan (tentunya menurut kaidah investasi Islam), dan hasilnya akan dibagikan kembali kepada peserta sesuai prinsip mudharabah.
Hasil itu akan negatif apabila risiko yang dihimpun tidak dikelola dengan baik, sehingga jumlah klaim besar. Akibatnya peserta kehilangan kesempatan untuk memperoleh bagi hasil. Mekanisme ini dengan sendirinya mendorong setiap peserta untuk melakukan pencegahan risiko dan mengelola risiko masing-masing dengan baik. Fraudulent claim pun sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Bukan saja karena ada dimensi moral dan etik yang inheren terdapat di dalamnya, namun juga karena mekanisme risk sharing itu sendiri yang dikaitkan dengan prinsip mudharabah, membuat orang secara sadar tercegah dari hal-hal yang buruk. Wallahu a’lam bis-Shawab.
No Response to "Esensi Asuransi Islam"
Posting Komentar